Dewasa ini sering kita mendengar dengan slogan
pembangunan. Iya, pembanguan terus menerus digalakkan untuk meningkatkan taraf
kehidupan yang lebih baik. Baik dari sudut kehidupan yang dibangun seperti
ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Karena pembangunan merupakan sesuatu
yang dianggap kewajiban, maka umat manusia harus memenuhinya agar dapat
melangsungkan hidup yang semakin kompleks.
Banyak
gedung dibangun dengan tembok yang menjulang tinggi. Gedung bertingkat puluhan
lantai bahkan hampir ratusan lantai untuk kegiatan manusia dengan
keanekaragaman yang unik untuk mencukupi kebutuhan manusia. Sementara di sisi
yang lain, pembangunan infrastruktur mulai gencar dilakukan oleh pemerintahan
yang sedang berkuasa saat ini.
Infrastuktur
yang dibangun hanyalah mayoritas akses jalan yang berada di Jawa, Sumatera, Kalimantan,
dan di lain tempat. Pembangunan proyek jalan tol, pembangunan rel kereta api
cepat, pembangunan waduk yang berada di ibukota. Seiring dengan kondisi
tersebut memang baik untuk menyerap tenaga kerja yang membutuhkan banyak tenaga
untuk menggarapnya. Meski demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa pembangunan
malah semakin memperjelas adanya kesenjangan sosial.
Di
balik pembangunan ada saja yang dikorbankan. Semula rumah-rumah tertancap di muka bumi luluh
lantak menjadi rata, tempat pedagang diberangus, tempat bermain anak tidak
berbekas, dan lain sebagainya. Dengan alasan, bahwa tidak ada bukti surat tanah
yang mereka jadikan rumah, tanah yang ditinggali adalah ilegal, milik
pemerintah. Dan ketika ada yang menolak untuk rela serta pasrah tidak melawan, sebagaimana
mahluk Laron keluar berhamburan saat musim hujan tiba. Alasan tersebut memang
bisa diterima dengan menyisakan luka, namun ketika ada suatu penertiban dengan
mengatasnamakan pembangunan, itulah hal yang perlu kita pertanyakan.
Pembangunan
seperti itu mencuatkan kecurigaan, adakah suatu pembangunan untuk menjadikan
manusia yang lebih baik?, akan tetapi para aparat sebagai eksekutor yang diberi
titah oleh pejabat pemerintah mentertibkan dengan cara paksa. Atau kah
jangan-jangan ada kongkalikong antara kapitalis dengan penguasa untuk
memuluskan keinginan pemilik modal?. Terdapat kisah nyata dari Kota Garut, seorang
rakyat biasa dengan setiap hari pergi ke ladang untuk menggarap lahannya, suatu
ketika mereka panen jagung lalu ditengah perjalanan melintasi sungai yang tidak
ada jembatannya, jagung yang mereka bawa hanyut bersama dengan banjir di sungai.
Lalu mengapa mereka tidak mau memfasilitasi pembuatan jembatan untuk para
petani?. Bukankah bangsa ini konon katanya negara agraris dengan
mayoritas penduduknya menjadi petani?.
Gus
Mus dalam penggalan puisinya “Kau ini bagaimana kau suruh menggarap sawah,
sawahku kau tanami rumah-rumah, kau bilang aku harus punya rumah, aku punya
rumah kau meratakannya dengan sawah”. Kondisi
sawah yang terletak di daerah perkotaan yang berdampingan dekat dengan jalan
umum sangat lah riskan. Betapa tidak, lahan tersebut sering dilirik oleh mereka,
pemilik modal, untuk membeli sawah tersebut. Kemudian disulap menjadi tempat yang
mereka inginkan. Dijadikan area perkantoran, tempat belanja maupun tempat
hiburan pariwisata untuk meningkatkan investasi maupun mengeruk keuntungan
semata.
Adapun
pengertian dari pembangunan sendiri adalah sebagai proses yang dijalankan oleh manusia
guna meningkatkan taraf kehidupannya, baik kebutuhan lahir mapun batin. Sebagai
suatu kegiatan guna terwujudnya
kemakmuran dan kesejahteraan yang adil dan merata seperti yang
diamanatkan pada UUD 1945. Sedangkan sampai saat ini, apakah rakyat Indonesia
sudah merasakan kemakmuran yang adil dan merata sampai ke pelosok nusantara?
Untuk jawabannya, penulis yakin anda, kalian, mereka sudah mempunyai jawaban
yang pas.
*Saiful Anwar, Sosiolog dari Dangkang Aksara Institute
*Saiful Anwar, Sosiolog dari Dangkang Aksara Institute