Ketika itu...
Wanita-wanita paruh baya dengan kekuatan seadanya
Usia yang begitu senja
Nafasnya yang tersengal-sengal di bawah terik matahari
Dengan wajah putus asanya
Mereka hanya bisa menatap dengan tatapan kosong
Ya... kosong!!!
Kosong... karena tidak tahu harus berbuat apa
Ketika itu...
Wanita-wanita itu tak menanak nasi seperti biasanya,
Tak menyalami anaknya sekolah
Hanya berdiam diri, termenung di atas aspal
Mematung dengan kerisauannya
Serta bungkam
Tak seperti sore hari lalu, bercengkrama dengan sesamanya
Ketika itu...
Di depan gedung besar
Sebut saja gedung keadilan
Wanita-wanita itu berbau balsem menyengat
Berkomat-kamit, melafadkan doa hingga bibir-bibir mereka mengering
Begitu pun harapan mereka
Harapan yang begitu besar bisa pupus seketika hanya dengan
perkataan satu orang
Ketua Hakim
Ketika itu...
Sebenarnya wanita-wanita tua itu rela berjalan kaki
Menapaki aspal ratusan kilometer
Menahan perihnya sendi-sendi kaki
Hingga baju mereka basah oleh derasnya peluh
Hanya ingin satu hal
Keadilan...
Keadilan yang mampu menjaga tanah mereka
Sebab tanah adalah sumber penghidupan
Sumber penghidupan hingga anak cucu mereka
Ketika itu...
Melihat mereka, wanita-wanita itu, wanita yang tak berdaya lagi
Hati terasa terkoyak-koyak termakan anjing biadab
Bahkan terasa tertampar berulang kali, perih, ya perih...
Mereka itu para ibu
Ibu yang senantiasa menjaga dan menyanyangi anaknya
Demi keselamatan anaknya
Mereka rela mengorbankan diri, sekalipun itu nyawanya
Dimana kah hati nurani sekarang ini?
Dimana?
Apakah hati nurani sekarang telah tinggal nama?
Entah lah...
Hanya saja ketika itu, melihat itu, teringat wanita yang telah melahirkan kita
*Persembahan untuk wanita-wanita tangguh dari Jaringan Masyarakat Peduli Kendeng (JMPK).