Momentum
pandemi ternyata tidak selalu menjadi momok penghambat segala aktivitas. Ragam
pemikiran baru justru muncul dari kondisi yang menghimpit. Rasanya begitu berat
untuk melakukan sesuatu, namun akhirnya semuanya bisa diterima dengan “lapang
dada”. KMPP Jogja justru membuktikan bahwa tidak selamanya pandemi menjadi barrier untuk terus berinovasi.
Kebebasan yang terbuka lebar menjadi faktor pendorong baginya untuk mendirikan
“konstruksi” baru di rumahnya, dan mulai berfikir untuk di – design “tahan gempa”. Bina desa tahun
2021 adalah jawaban atas segala sesuatu. Unsur pengabdian memang bukanlah hal
yang baru, buah pikiran manusia modern yang didorong oleh pemahaman “humanity” sudah begitu mendalam
terpatri di bawah alam sadarnya. Dogma ini sudah diajarkan sejak di bangku
pendidikan, kemudian dibalut dengan ekspektasi masyarakat yang menyandarkan
harapan besar di pundak para kaum akademisi. Berharap mereka yang membawa perubahan
untuk ke arah yang lebih baik.
Dorongan dari dalam juga cukup
“memaksa” orda (KMPP Jogja) mewujudkan harapannya tentang unsur
kebermanfaatannya (bagi masyarakat sekitar). Meskipun tidak pernah tertulis
dalam perlengkapan rumah tangga organisasi, nyatanya KMPP Jogja memiliki benang
merah yaitu dorongan untuk memberi manfaat seluas – luasnya bagi anggota dan
masyarakat luas. Ibarat menjalani kehidupan rumah tangga, tidak ada aturan
tertulis yang disepakati, hanyalah etika dan beban moral yang begitu mengikat
kuat sebagai puncak keadilan tertinggi, terkadang melewati batas logika yang
disepakati secara arbitrer. Meskipun begitu, orang – orang yang terlibat di
dalam tatanan tersebut tidak begitu merasakan keterpaksaan, semuanya dibungkus
dengan alasan kewajiban.
Dua
Mahzab
Benang merah ini setidaknya sudah
melampaui hampir satu dekade generasi KMPP Jogja. Nafas pengabdian begitu
memenuhi setiap detak dan detik denyut nadi orda tertua tersebut. Eksekusi
kegiatan pengabdian KMPP digolongkan dalam dua aliran, klasik dan mutakhir.
Keduanya saling mengkritik satu sama lain. Sistem klasik lahir dari
“keangkuhan” penyelenggara pengabdian yang seolah – olah paling tahu kondisi
masyarakat. Menilai segala fenomena dengan gagasannya yang bersumber dari
kajian teoritis yang melahirkan dalil – dalil yang seolah – olah sudah tepat
(menurut penyelenggara). Setelah melewati berbagai uji coba, lahirlah aliran
mutakhir yang menyadari bahwa situasi lapangan tidak sesederhana seperti yang
di dalil – dalilkan. Melahirkan Ijma’ dan
Qiyash antara sesama pengabdi untuk
bersikap. Memadukan dalil – dalil yang terus dipaksakan untuk diterapkan sambil
memperhatikan kemajemukan masyarakat. Lahirlah interdisipliner yang mencoba
untuk bersinergi bertukar pikiran, melepaskan benang kusut yang terlanjur
rumit. Pemikiran ini melahirkan kaum mutakhir dengan pandangan “hermeunitik”.
Hermeunitik menekankan pemecahan permasalahan selain membutuhkan banyak pihak
dari berbagai bidang, juga perlu dilakukan secara berulang dengan siklus: dikaji
– dilakukan – dibenahi – dikaji – dilakukan – dan dikaji kembali. Terobosan
bina desa yang dicetuskan KMPP Jogja lebih tendensius ke arah mutakhir.
Terkadang pemikiran abu – abu
diperlukan, tidak serta merta hitam dan putih, keduanya bisa dipadukan tanpa
dengan peran kedua warna tersebut tidak ada yang dominan. Mungkin inilah yang
akan memunculkan aliran baru pengabdian di masa depan. Diprediksi kedepan akan
ada pihak yang mendalami mutakhir kemudian mencoba mengkritisi kembali
kelemahan aliran mutakhir. Rasanya memang harus kembali ke hermeunitik
(penafsiran yang dilakukan secara berulang). Terkadang klasik dan mutakhir
diperlukan dalam waktu yang bersamaan.
Mutakhir:
Sebatas ilusi (?)
Mutakhir lahir menjadi sebuah resolusi dan menjawab dari segala problem yang dialami aliran klasik. Namun dalam praktinya agak susah dalam memisahkan keduanya. Dirasa cukup sukar untuk berdiri secara tegas di salahsatunya. Biasanya konsep dalam aliran klasik digunakan sebagai “hiburan” disela standardisasi konsep mutakhir yang cukup membosankan karena harus berkutat pada kajian yang kuat sebelum dieksekusi. Tidak bisa dimungkiri, untuk mencapai tujuan akhir konsep mutakhir diperlukan ketelitian dan kesabaran. Hasil tidak dapat langsung diperoleh, dan harus diwariskan antar generasi. Ujung dari tujuan ini adalah melanggengkan benang merah arah pergerakan KMPP Jogja.
Sejauh ini bina desa yang dilakukan masih sebatas seremonial dengan sedikit memikirkan unsur kebermanfaatan secara langsung. Secara kasat mata tampak demikian, namun sejatinya adalah dalam proses menghayati konsep mutakhir yang memang tidak dapat dirasakan langsung hasilnya. Aspek lain, kebermanfaatan baru dapat menjangkau internal KMPP Jogja untuk belajar terjun langsung memasuki problem di masyarakat. Namun tidak semata – mata bisa disalahkan, salahsatu hal yang paling sulit adalah menghadapi problem di masyarakat dengan segala kompleksitas problem. “Tidak ada hal yang sia – sia”.