Sepenggal Kisah dari Bina Desa KMPP Jogja: Sebuah Paradoks “Seorang Margono” - KMPP Yogyakarta

Sabtu, Oktober 15, 2022

Sepenggal Kisah dari Bina Desa KMPP Jogja: Sebuah Paradoks “Seorang Margono”

Momentum pandemi ternyata tidak selalu menjadi momok penghambat segala aktivitas. Ragam pemikiran baru justru muncul dari kondisi yang menghimpit. Rasanya begitu berat untuk melakukan sesuatu, namun akhirnya semuanya bisa diterima dengan “lapang dada”. KMPP Jogja justru membuktikan bahwa tidak selamanya pandemi menjadi barrier untuk terus berinovasi. Kebebasan yang terbuka lebar menjadi faktor pendorong baginya untuk mendirikan “konstruksi” baru di rumahnya, dan mulai berfikir untuk di – design “tahan gempa”. Bina desa tahun 2021 adalah jawaban atas segala sesuatu. Unsur pengabdian memang bukanlah hal yang baru, buah pikiran manusia modern yang didorong oleh pemahaman “humanity” sudah begitu mendalam terpatri di bawah alam sadarnya. Dogma ini sudah diajarkan sejak di bangku pendidikan, kemudian dibalut dengan ekspektasi masyarakat yang menyandarkan harapan besar di pundak para kaum akademisi. Berharap mereka yang membawa perubahan untuk ke arah yang lebih baik.

Dorongan dari dalam juga cukup “memaksa” orda (KMPP Jogja) mewujudkan harapannya tentang unsur kebermanfaatannya (bagi masyarakat sekitar). Meskipun tidak pernah tertulis dalam perlengkapan rumah tangga organisasi, nyatanya KMPP Jogja memiliki benang merah yaitu dorongan untuk memberi manfaat seluas – luasnya bagi anggota dan masyarakat luas. Ibarat menjalani kehidupan rumah tangga, tidak ada aturan tertulis yang disepakati, hanyalah etika dan beban moral yang begitu mengikat kuat sebagai puncak keadilan tertinggi, terkadang melewati batas logika yang disepakati secara arbitrer. Meskipun begitu, orang – orang yang terlibat di dalam tatanan tersebut tidak begitu merasakan keterpaksaan, semuanya dibungkus dengan alasan kewajiban.

Dua Mahzab

Benang merah ini setidaknya sudah melampaui hampir satu dekade generasi KMPP Jogja. Nafas pengabdian begitu memenuhi setiap detak dan detik denyut nadi orda tertua tersebut. Eksekusi kegiatan pengabdian KMPP digolongkan dalam dua aliran, klasik dan mutakhir. Keduanya saling mengkritik satu sama lain. Sistem klasik lahir dari “keangkuhan” penyelenggara pengabdian yang seolah – olah paling tahu kondisi masyarakat. Menilai segala fenomena dengan gagasannya yang bersumber dari kajian teoritis yang melahirkan dalil – dalil yang seolah – olah sudah tepat (menurut penyelenggara). Setelah melewati berbagai uji coba, lahirlah aliran mutakhir yang menyadari bahwa situasi lapangan tidak sesederhana seperti yang di dalil – dalilkan. Melahirkan Ijma’ dan Qiyash antara sesama pengabdi untuk bersikap. Memadukan dalil – dalil yang terus dipaksakan untuk diterapkan sambil memperhatikan kemajemukan masyarakat. Lahirlah interdisipliner yang mencoba untuk bersinergi bertukar pikiran, melepaskan benang kusut yang terlanjur rumit. Pemikiran ini melahirkan kaum mutakhir dengan pandangan “hermeunitik”. Hermeunitik menekankan pemecahan permasalahan selain membutuhkan banyak pihak dari berbagai bidang, juga perlu dilakukan secara berulang dengan siklus: dikaji – dilakukan – dibenahi – dikaji – dilakukan – dan dikaji kembali. Terobosan bina desa yang dicetuskan KMPP Jogja lebih tendensius ke arah mutakhir.

 Terkadang pemikiran abu – abu diperlukan, tidak serta merta hitam dan putih, keduanya bisa dipadukan tanpa dengan peran kedua warna tersebut tidak ada yang dominan. Mungkin inilah yang akan memunculkan aliran baru pengabdian di masa depan. Diprediksi kedepan akan ada pihak yang mendalami mutakhir kemudian mencoba mengkritisi kembali kelemahan aliran mutakhir. Rasanya memang harus kembali ke hermeunitik (penafsiran yang dilakukan secara berulang). Terkadang klasik dan mutakhir diperlukan dalam waktu yang bersamaan.

Mutakhir: Sebatas ilusi (?)

Mutakhir lahir menjadi sebuah resolusi dan menjawab dari segala problem yang dialami aliran klasik. Namun dalam praktinya agak susah dalam memisahkan keduanya. Dirasa cukup sukar untuk berdiri secara tegas di salahsatunya. Biasanya konsep dalam aliran klasik digunakan sebagai “hiburan” disela standardisasi konsep mutakhir yang cukup membosankan karena harus berkutat pada kajian yang kuat sebelum dieksekusi. Tidak bisa dimungkiri, untuk mencapai tujuan akhir konsep mutakhir diperlukan ketelitian dan kesabaran. Hasil tidak dapat langsung diperoleh, dan harus diwariskan antar generasi. Ujung dari tujuan ini adalah melanggengkan benang merah arah pergerakan KMPP Jogja.

Sejauh ini bina desa yang dilakukan masih sebatas seremonial dengan sedikit memikirkan unsur kebermanfaatan secara langsung. Secara kasat mata tampak demikian, namun sejatinya adalah dalam proses menghayati konsep mutakhir yang memang tidak dapat dirasakan langsung hasilnya. Aspek lain, kebermanfaatan baru dapat menjangkau internal KMPP Jogja untuk belajar terjun langsung memasuki problem di masyarakat. Namun tidak semata – mata bisa disalahkan, salahsatu hal yang paling sulit adalah menghadapi problem di masyarakat dengan segala kompleksitas problem. “Tidak ada hal yang sia – sia”.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda