I.
PENDAHULUAN
Menelanjangi
pemikiran Hannah Arendt mengenai manusia politis, akan berimplikasi pada
pertanyaan klasik tentang eksistensi manusia itu sendiri, apakah saya atau kita
termasuk manusia politis? Pertanyaan ini sama sekali berbeda dengan pandangan Aristotels
yang mengatakan bahwa manusia secara natural adalah mahluk politik (zoon politikon) yang merupakan
keniscayaan alamiah semenjak manusia dilahirkan. Tidak juga seperti pandangan Thomas
Hobbes yang mengatakan bahwa manusia barulah dikatakan sebagai manusia politis
apabila terikat kontak (social kontrac)
dengan manuisa yang lainnya atau keniscayaan individual dalam kondisi sosial
manusia. Manusia politis menurut Arendt adalah terjadi secara kultural yang
merupakan upaya sadar dan
transformatif.
Bagi Hannah Arendt, manusia politis
pertama dibentuk oleh kebebasan yang ada semenjak manusia dilahirkan, bukan
sebelum mansuia dilahirkan yang kemudian mengimplikasikan kita pada suatu
tindakan manusiawi, yaitu tindakan politis. Arendt mengatakan, sebuah kelahiran
kembali (natalitas) manusia yang
secara kultural akan mengantarkan dan melampaui kenaturalannya memalui
proses kultural. jadi manusia politis
itu bukan sebuah tindakan natural yang mengandaikan dan mengantarkan kita pada
keniscayaan sebagaimana Aristotelian. Sebaliknya, Tindakan politis akan
mengarakan kita apada ketakterhinggaan, ketakterdugaan, dan ketakdapatdiulanginya.
dan ketidak dapat diulanginya itulah yang melahirkan suatu tindakan (pluralitas)
yang paling manusiawi. Kira-kira demikian inilah inti dari pada pemikiran Hannah
Arendt mengenai manusia politis.
Dengan demikian, jika kebabasan
adalah sebagai barometer terbentuknya manusia politis dan pluralitas merupakan bukan
prasyarat mutlak, maka kebalikan dari itu (ketidakbebasan dan ketunggalan)
adalah apolitis. Sementara manusia
bukanlah manusiawi kalau tidak politis.
dalam hal ini, politik bukanlah sebuah alternatif bagi kehidupan
manusia, melainkan politik adalah sebuah pencapaian
puncuk eksistensi dimana manusia menemukan kebenaran bahwa ia adalah manusia. Alasan adanya ini adalah bahwa politik
merupakan ruang bagi tindakan (vita
activa) dan pemikiran (vita
contemplativa).
Tidak lepas dari kotak analisa itu, Arendt
sebenarnya mengajak kita memikirkan apa
yang sedang kita lakukan. Dengan kata lain tujuannya adalah untuk mengisolasi
esensi pengalaman politik kita dalam dunia modern. karena Arendt berusaha menciptakan sebuah ontologi politik,
ia pertama-tama harus bergulat dengan ketidaksinambungan dan rasa kehilangan
yang dihadirkan modernitas. Salah satu aspek terpenting masa lalu yang hilang
dari modernitas adalah pemahaman tentang makna semestinya tindakan politik (political action). Maka dari itu, Arendt
percaya bahwa politik autentik hanya
bisa terjadi melalui pertimbangan publik atas tujuan-tujuan bersama, bukan melalui
konflik partisan buta atau administrasi rutin.[3]
Kebebasan autentik hanya berasal dari kata-kata mulia dan perbuatan besar
orang-orang yang terlibat dalam kegiatan politik. Penekanan Arendt pada tindakan (action) sebagai esensi kebebasan dan mansuia politis, adalah
sebagai pijakan awal kita untuk menganalisis pemikiran Arendt tersebut.
II.
Biografi Singkat Hannah Arendt
Hannah Arendt lahir
di Hannover, Jerman pada 14 Oktober 1906 dan meninggal di New York City pada 14
Desember 1975 atau pada umur 69 tahun.
Ia merupakan seorang teoritikus politik -bukan politikus- dan sering juga
dijuluki sebagai filosof meskipun ia selalu menolak label itu dengan alasan
bahwa filsafat berurusan dengan “manusia dalam pengertian singular.” Ia menggambarkan
dirinya sebagai seorang teoritikus politik karena karyanya berpusat pada
kenyataan bahwa “mansuia pada umumnya bukan manusia saja, hidup dimuka bumi ini
dan menghuni bumi ini.”[4]
Arendt dilahirkan dalam keluarga Yahudi sekuler di kota Liden[5]
dan dibesarkan di Konigsberg[6] serta
Berlin. Ia belajar filsafat bersama Martin Heideggeer di Universitas Marburg
dan lama menjalin hubungan romantik yang sporadis dengannya.[7] Arendt
kemudian pindah ke Heidelberg untuk
menulis disertasi tentang konsep cinta-kasih dalam pemikiran Santo Agustinus,
di bawah bimbingan filsuf-psikolog eksistensialis Karl Jaspers.
Pada tahun 1929, Arendt berencana untuk menerbitkan disertasinya itu.
Namun, Arendt dihalangi ketika ia
menyusun tulisan habilitasi[8]
pada tahun 1933 karena ia seorang Yahudi. Setelah itu ia meninggalkan Jerman
dan pergi ke Prancis. Disana ia berjumpa dan bersahabat akrab dengan kritikus
sastra dan mistikus Marxsis Welter Benjamin. Sementara di Prancis, Arendt bekerja untuk mendukung dan membantu para
pengungsi Yahudi. Namun, karena sebagian wilayah Prancis diduduki militer Jerman
setelah Prancis menyatakan perang pada Perang Dunia II, dan dideportasinya
orang-orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi.
Untuk menghindari perang itu, Hannah
Arendt harus melarikan diri dari Prancis. Pada tahun
1940, ia menikah dengan penyair dan filsuf Jerman Heinrich Blucher kemudian
pada tahun 1941 Arendt melarikan diri
bersama suami dan ibunya ke Amerika Aerikat (AS) atas bantuan diplomat Amerika
Hiram Bingham IV, yang secara ilegal mengeluarkan visa untuknya dan sekitar
2.500 orang pengungsi Yahudi lainnya. Di AS ini ia banyak bertemu dengan
inteletual dan penulis New York. Kemudian ia menjadi aktif dalam komunitas Yahudi
Jerman di New York dan menulis untuk mingguan Aufklarung. Pada tahun 1950, ia resmi menjadi warga negara AS
berdasarkan naturalisasi. ia menjadi terkenal lewat penerbitan The Origin of Totalitarianism pada tahun
1951. Setelah itu, buku-buku berharga lain yang ditulis oleh Arendt perlahan mengikuti penerbitannya. Ia juga
mengajar di beberapa akademi serta menulis banyak esai penting tentang filosofi
budaya dan panggung politik Amerika. dan pada tahun 1959 Arendt menjadi perempuan pertama yang diangkat ke
dalam jabatan profesor penuh di Universitas Princeton.[9]
Adapun beberapa karya Hannah Arendt
yang hingga sekarang masih menjadi rujukan para pemikir politik diantaranya
adalah The Human Condition (1963), Der Leibesbegriff Bei Augustin. Versuch Einer
Philosophischan Interpretation (1929), The
Origin of Totalitarianism (1951), Rahel
Varhagen: The Life of a Jewish Woman (1958), Between Past and Future (1961), On
Revolution (1963), Crises of The Republic:
Iying in Politic; Civil Disobedience; Thoughts on Politic and Revolution
(1969).[10]
Dan masih banyak karya-karya lainnya yang belum diterbitkan setelah kematian
Arendt.
III.
Vita Activa dan Manusia Politis
Sosok Hannah Arendt selalu
menyukai hal-hal yang triadik untuk menggolongkan kegiatan fundamental manusia.
Dalam vita avtica (tindakan) ada tiga
fakultas yaitu, kerja (labour), karya
(work) dan tindakan (action).[11]
Vita activa ini menjadi kata kunci Arendt
untuk membedakan antara manusia politis dan apolitis. Kerja (labour) adalah kaitan yang berhubungan
dengan proses bilogis manusia dengan
pertumbuhan spontan, metabolisme dan peluruhan tak terelakkan yang terkait pada kebutuhan-kebutuhan vital yang
dihasilkan dan diberikan kedalam proses
kehidupan melalui kerja. Kondisi kerja manusia adalah kehidupan itu sendiri.[12]
Sedangkan karya (work)
adalah kegiatan yang berhubungan dengan ketidakalamiahan eksistensi manusia karena
karya membutuhkan sebuah dunia “benda-benda bantuan” yang sangat berbeda dengan
seluruh benda alami di sekitarnya dalam batas-batasnya setiap kepentingan
individual ditempatkan (catata: kurang jelas).
Kemudian tindakan (action) adalah
satu-satunya kegiatan yang terjadi secara langusng diantara mansuia-manusia tanpa perantaraan benda-benda (kritik).
Pada Tindakan inilah yang menjadikan mansuia bisa berbeda dalam suatu kondisi
bersama manusia lainnya.[13] “saya melakukan sesuatu yang bisa dikatakan
tindakan sejauh bisa bisa dipahami oleh orang lain.” Jadi, kalau kita bertindak
tanpa ada yang memahami tingkah kita, itu bukan tindakan. Itu kategori kerja
dan karya.
Sebuah pandangan berbeda juga
diutarakan oleh pakar Hannah Arendt, Mary G. Dietz. Bagi Mary, Arendt melalui The
Human Condition dengan membedakan tiga “kapasistas umum manusia yang muncul
dari kondisi manusia dan permanen, yaitu yang tidak dapat dihilangkan selama
kondisi manusia itu sendiri tidak dirubah.”
Tiga kapasitas dan kondisi-kondisi mereka yang berkaitan adalah “kerja dan
kehidupan, karya dan keduniawian, serta tindakan dan pluralitas; bersama-sama
ketiganya membentuk vita activa.”[14] Arendt
membayangkan kerja, karya dan tindakan
bukan sebagai generalisasi-generalisasi empiris atau sosiologis tentang apa
yang sebenarnya orang perbuat, namun lebih sebagai kategori-kategori
eksistensialis yang dimaksudkan untuk membedakan vita activa dan mengungkapkan apa yang diartikan sebagai menjadi
manusia “dalam kehadiran manusia lain.”Dalam cara yang benar-benar normatif, Arendt
ingin menulai kondisi manusia pada
gilirannya mengajak kita untuk memikirkan apa yang sedang kita perbuat ketika kita
mengartikulasikan dan menjalani kondisi-konsisi eksistensi kita dalam cara-cara
tertentu.
Titik penting dari vita activa adalah dalam kategori
tindakan (action). Sebagaimana
diatas, tindakan selalu menghasilkan ketakterhinggaan, ketakterdugaan, dan
ketakdapatdiulanginya. Karena itu, para pakar Hannah Aredt mengatakan
bahwa tindakan selain selain
menghasilkan hal yang politis, tetapi juga sebaliknya.[15]
Namun, yang dimaksud Hannah Arendt disini adalah bahwa tindakan selalu
diakitkan dengan ruang publik. dalam artian, sesugguhnya yang dilakukan tidak
diruang publik, itu bukanlah tindakan, itu adalah kategori kerja dan karya.
Sesuatu bisa dikatakan tindakan sejauh mempunyai cantelan di ruang publik.
Arendt membagi dua hal sebagai
kategori dari ruang publik yang tidak bisa dipisahkan, yaitu: pertama,
ruang publik adalah sebagai ruang diskursus, ruang penampakan, dan ruang
penyingkapan. Hal ini merupakan kategori transendental dalam pemikiran ruang
publik Hannah Arendt. Ruang publik bukan hanya berdampak politis, tetapi juga
epistemologis. Dan kebenaran itu bukan hanya kebenaran individu, tetapi
kebenaran publik. kedua, ruang publik
sebagai dunia bersama.
Ruang publik sebagai ruang
penampakan dalam arti segala sesuatu yang tampak di publik dapat dilihat dan
didengar oleh siapaun dan berpeluang untuk terpublikasikan seluas-luasnya. Arendt
mengatakan, penampakan – sesuatu yang
bisa dilihat dan terdengar, kekuatan terbesar dalam hidup kita yang paling
intim – hasrat hati, pikiran, dan kehendak – mengarah pada eksistensi yang
tidak jelas dan berbayang- bayang, kecuali kalau hal itu sampai ditransformasi,
di deprivatisasi dan dideindividualisasi..... kedalam bentuk yang sesuai untuk
ruang penampakan.... kehadiran orang lain yang melihat apa yang kita lihat dan
dengar menyakinkan kita tentang dunia dan diri kita.....”[16]
Ruang publik sebagai ruang
penampakan berarti ruang dimana saya sebagai manusia dikenali sebagai manusia oleh
yang lain karena saya “berada diantara mansuia” (inter homines esse). Ruang publik sebagai ruang penampakan akan
memisahkan apa-apa yang tidak relevan dengan kehidupan bersama itu sebagai
“masalah privat” dan karena itu “cahaya kepublikan” itulah yang menyinari apa
yang privat, bukan sebaliknya.[17]
Ruang publik sebagai dunia bersama (common world), dalam arti dunia yang
kita pahami bersama, hidup bersama, adalah dunia “yang umum atau sama bagi kita
semua, yang berbada dari tempat kita yang privat di dalamnya. Dunia tidaklah
sama dengan bumi atau alam. Kalau bumi atau alam adalah ruang bagi seluruh mahluk hidup, maka
dunia adalah sebuah kategori khas bagi manusia. Maka dari itu, dunia
menghubungkan sekaligus memisahkan manusia dalam waktu yang sama.[18]
Dalam analogi yang sangat sederhana, ada sebuah meja yang ditempatkan diantara
mereka yang duduk mengelilinginya. Jika meja itu hilang, maka hilanglah
kebersamaan itu.
Lebih lanjut, Arendt mengatakan bahwa ruang publik sebagai dunia
bersama adalah “dunia yang kita masuki ketika kita lahir dan dunia yang kita
tinggalkan ketika mati. Melamelampaui rentang waktu hidup kita di masa lalu
atau masa depan; ia sudah ada sebelum kita datang dan akan hidup lebih lama
dari kita. Ia adalah dunia yang kita
miliki bersama bukan hanya dengan orang yang hidup bersama kita, melainkan
dengan orang yang sebelum kita dan dengan orang yang datang sesudah kita. Tapi
dunia bresama hidup lebih lama untuk generasi yang akan datang hanya sejauh ia
tampak di publik. Manusia memasuki ruang publik karena mereka menginginkan
sesuatu yang adalah milik mereka sendiri atau sesuatu yang mereka miliki
bersama dengan orang lain untuk melanggengkan kehidupan mereka dibumi ini.
Dunia bersama akan mengalami
distruksi paling tidak dalam dua hal. Pertama,
adalah ketika terjadi isolasi radikal, dimana semua orang tidak lagi saling
memberikan persetujuan.[19]
Sebagai contoh adalah dalam pemerintahan tirani, atau dalam masyarakat anarkis. Dan kedua, adalah dalam “masyarakat massa” atau
“histeria massa” dimana kita melihat
semua orang tiba-tiba bertingkah seolah-olah mereka adalah anggota dari satu
keluarga, masing-masing menggandalkan dan melestarikan perspektif orang
disekitarnya.[20]
Dalam kedua kasus ini, manusia telah berubah total menjadi privat, yaitu bahwa
mereka tidak lagi dapat melihat dan mendengar yang lain. Dengan demikian,
politik menjadi lenyap ketika yang publik menjadi yang privat.
IV.
Pluralitas; Awal Terbukanya Ruang Politik
Sebagaimana yang sudah diungkap
diatas bahwa pluralitas menuparan prasyarat bagi tindakan (action) dan ucapan
(comunication) manusia yang selanjutnya akan menjadi ruang dielktika antara kesamaan atau kesetaraan dan kebedaan. Kesamaan menjadi basis bagi adanya
pemahaman terhadap satu sama lain bagi perencanaan dan ramalan akan kebutuhan
manusia-manusia masa depan. Kebedaan menjadi basis bagi tindakan dan ucapan
agar bisa dimengerti. Sebagaimana kata Arendt, jika manusia tidak sama, maka
mereka tidak pernah bisa saling mengerti dan melihat kebutuhan manusia masa
depan. Tapi, jika manusia tidak berbada, mereka tidak butuh tindakan dan ucapan
untuk saling mengerti.[21]
Untuk bertindak, manusia pertama-tama
harus memasukkan tuntutan-tuntutan kehidupan, memiliki sebuah lingkup pribadi
bagi kesendirian, dan juga memiliki sebuah dunia stabil dimana didalamnya
mereka bisa mencapai “solidaritas” dan mendapatkan kembali kesamaan mereka. Pada
saat bersamaan, manusia memiliki kemampuan-kemampuan luar bisa yang tidak
dicakup kerja maupun karya. Mereka bisa membuka diri dalam ucapan dan perbuatan, serta menjalankan
awalan-awalan baru sehingga mengingkari ikatan-ikatan alam dan bergerak
melampaui cara atau tujuan yang membatasi homo
faber. Tanpa tindakan yang mendatangkan awaln-awalan baru (natalitas), kedalam permainan dunia, Arendt
menulis, ,tiadak suatu yang baru di
bumi; tanpa ucapan, tiada memorialisasi, tiada kenangan. Tidak seperti kerja
ataupun karya, tindakan tidak memiliki sinonim latin tunggal yang berkesesuaian
untuk menagkap aspek kehidupan manusia yang pada dasarnya kolektif, ketimbang
soliter atau dicirikan oleh keterpisahan orang-orang. Kondisi kolektif ini dimana
ucapan dan tindakan terwujud yang disebut Arendt sebagai kondisi pluralitas
manusia.[22]
Pluralitas kemudian menjadi kunci untuk
memahami Arendt mengenai tindakan yang
ada dalam vita activa tersebut. Ia menggunakannya untuk mengeksplorasi situasi
yang mereka capai ketika sedang berumpul bersama dan bertindak dalam
keselarasan. Dalam pengertian umum, pluralitas adalah terwujudnya simultan
kesetaraan bersama dan perbedaan-perbedaan individual. Arendt menyebutnya sebagai “kondisi dasar tindakan
dan ucapan.”[23]
Dengan demikian, tanpa kesetaraan, individu-individu tidak akan mampu memahami
satu sama lain atau berkomunikasi, dan tanpa keberbedaan, mereka tidak memiliki
kebutuhan atau alasan untuk berkomunikasi, tiada dorongan untuk menusup sebagai
pribadi-pribadi yang “unik” [24] untuk
masuk kedalam dunia bersama. Pluralitas selanjutnya adalah kondisi tindakan
bersama dimana manusia mengungkapkan “keberbedaan
unik” mereka.
Ketika Arendt memperkenalkan pluralitas sebagai sebuah
konsep politik dan bukan metafisika, ia
juga menempatkan kondisi bersama ini dalam sebuah ruang terbanyangkan yang
disebutnya sebagai “publik” atau “ruang pemunculan-pemunculan.” Publik pampak
sangat jelas, berkebalikan dengan lingkup pribadi; ini tempat terjadinya
pemunculan individualitas ditengah kolektivitas. Arendt menulis, Eksistensi terjelas sebuah lingkup
publik memberkahi politik sebuah martabat yang bahkan hingga hari ini tidak
sepenunnya hilang.[25]
Konseppluralitas Arendt sebagai kondisi dasar sebuah tindakan dan
ucapan memungkinkannya mengkonseptualisasi ulang politik dan kekuasaan secara
signifikan. Sebenarnya, politik yang bermartabat adalah perwujudan pluralitas
mansia. kekuasaan menurut Arendt adalah
sebagai “bertindak bersama-sama,” memelihara ruang pemunculan-pemunculan
(publik). politik adalah kegiatan yang menjadikan kita lebih dari sekedar animal laboran, yang tunduk terhadap
siklus-siklus proses biologis saja.[26] secara
tidak langusng arend menginginkan agar berkembang, lingkup publik memerlukan
cara berpikir bahwa kita bisa meletakkan gagasan diri kita ditempat orang lain,
dalam cara terbuka, kolektif serta mencermati perbedaan-perbedaan, opini-opini
dan kepedulian-kepedilian individual.
Tidak diragukan lagi bahwa Arendt
memahami politik sebagai cara eksistensi lebih unggul dari pada kerja dan
karya. Arendt menempatkan kerja, karya
dan tindakan bukan sebagai bangunan kelas atau hubungan-hubungan sosial, namun
lebih sebagai sifat-sifat kondisi manusia yang berada dalam jangkauan manusia. Demikian
pula “pengucilan dunia” kita bukanlah masalah bangkitnya massa-massa atau
terancamnya aristokrasi-aristokrasi, melainkan kaitan dengan fakta bahwa sebagai manusia-manusia, kita
dengan cepat kehilangan kapasistas kolektif untuk menjalankan kekuasaan melalui ucapan dan perbuatan bersama, dan
semakin pasrah menerima eksistensi yang diatur oleh perhitungan-perhitungan
instrumental himo faber dan
mentalitas proses animal laboran.
Daftar
Pustaka
Arendt,
Hannah, Human Condition, edisi kedua, dengan Kata Pengantar oleh
Margaret Canovan, Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1998
(1958).
Riyadi,
Eddie S., “Politik sebagai Relasi Kebebasan: Sebuah Tilikan terhadap Teori
Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Menurut Hannah Arendt”, dalam Rocky
Gerung (ed.), Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari Arendt
sampai Zizeck, Jakarta: Marjin Kiri dan P2D, 2008.
Losco,
Joseph-Williams, Leonard, political theory, edisi kedua, diterjemahkan oleh Haris
Munandar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Riyadi,
Eddie S., Manusia Politis Menurut Hannah Arendt; “Pertautan antara Tindakan dan
Ruang Publik,Kebebasan dan pluralitas, dan Upaya Memanusiakan Kekuasaan,” dalam
diskusi di Komunitas Salihara, Jakarta, 2011.
[1] Disampaikan dalam diskusi kajian tokoh rutin malam sabtu di Pesantren Mahasiswa
Hasyim Asy’arie Yogyakarta (3 januari 2012).
[2] Mantan aktivis Lampu Merah Institut, Malioboro, Yogyakarta.
[3]Joseph Losco dan Leonard william, Political Theory edisi ke II, Raja
Grafindo Persada, 2005. 913.
[4]Sebagaimana yang sudah disinggung dalam pendahuluan diatas, bagi Arendt
mansia pada umumnya adalah manusia yang
hanya bisa kerja (labour) dan karya (work) sementara manusia politis adalah
yang memiliki fakultas bertindak (action). Bertindak (ekspresi) terdapat dalam ruang
publik, bukan ruang privat.
[5] pada waktu itu Liden merupakan kota independen yang sekarang sudah
merupakan bagian dari Hanover.
[6] Kota tempat tinggal pendahulunya yang sangat dikagumi oleh Arendt ,
yaitu Imanuel Khant.
[7] Namun hubungan Heidegger dengan Arendt tersebut banyak dikritik dengan alasan Heidegger
terhadap Nazi.
[8] Karya tulis sesudah penulisan disertasi yang merupakan prasyarat untuk
mengajar di universitas jerman.
[9] Diambil dari wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedi bebas.
[10] Ibid.
[11] Joseph Losco dan Leonard william, Political Theory edisi ke II, Raja
Grafindo Persada, 2005. 916.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Mary G. Dietz: Hannah Arendt dan Politik Feminis.
[15] Tafsiran seperti juga banyak diritik oleh pakar Hannah Arendt lainnya
sebagai tafsiran yang keliru. Mengapa? karena bukan implikasi dari
ketakterdugaan itu.
[16] Joseph Losco dan Leonard william, Political Theory edisi ke II, Raja
Grafindo Persada, 2005. 918
[17] Eddie S. Riyadi Langgut-terre, dalam makalah Manusia Politis Menurut Hannah
Arendt .
[18] Ibid.hal.6
[19] Joseph Losco dan Leonard william, Political Theory edisi ke II, Raja
Grafindo Persada, 2005. 930.
[20] Ibid.
[21] Kutipan dari human condition yang diterjemahkan oleh haris munandar.2005.hal,86.
[22] Mary G. Dietz: Hannah Arendt dan politik feminis.
[23] Kutipan dari Human Condition yang diterjemahkan oleh Haris
Munandar.2005.hal.249
[24] Kutipan dari human condition yang diterjemahkan oleh haris
munandar.2005. Gejolak politik spontan rakyat china di lapangan Tiananmen
adalah salah satu contoh paling dramatis dari apa yang Arendt sebut sebagai “tindakan” dan “pluralitas”. Apa
yang bangkit disana adalah sebuah komunitas sesama, dimana setiap orang
memiliki kapasitas yang sama unutk bertindak....dan ketidakmungkinan
sosok-sosok unik tersisa akan apa yang mereka perbuat, untukmengetahui
konsekuensi-konsekuensinya dan bersandar pada masa depan (hal 244). Arendt menyebut ini harga yang dibayarkan bagi
pluralitas demi kesukacitaan menghuni dunia bersama orang lain yang realitasnya
bagimasing-masing dijamin oleh kehadiran dari semuanya. Jadi penekananya adalah
pada “ketakterkiraan “dan “ketakterbatasan” tindakan, maupun kemuliaan inheren
dan kolektivitasnya yang tak terelakkan.
[25] Ibid. Hal, 246.
[26] Ibid.