Pemikiran Hannah Arendt Tentang Manusia Politis - KMPP Yogyakarta

Sabtu, Februari 06, 2016

Pemikiran Hannah Arendt Tentang Manusia Politis

Oleh: Nur Kholis Anwar
I.                   PENDAHULUAN
Menelanjangi pemikiran Hannah Arendt mengenai manusia politis, akan berimplikasi pada pertanyaan klasik tentang eksistensi manusia itu sendiri, apakah saya atau kita termasuk manusia politis? Pertanyaan ini sama sekali berbeda dengan pandangan Aristotels yang mengatakan bahwa manusia secara natural adalah mahluk politik (zoon politikon) yang merupakan keniscayaan alamiah semenjak manusia dilahirkan. Tidak juga seperti pandangan Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa manusia barulah dikatakan sebagai manusia politis apabila terikat kontak (social kontrac) dengan manuisa yang lainnya atau keniscayaan individual dalam kondisi sosial manusia. Manusia politis menurut Arendt adalah terjadi secara kultural yang merupakan upaya sadar dan transformatif.
            Bagi Hannah Arendt, manusia politis pertama dibentuk oleh kebebasan yang ada semenjak manusia dilahirkan, bukan sebelum mansuia dilahirkan yang kemudian mengimplikasikan kita pada suatu tindakan manusiawi, yaitu tindakan politis. Arendt mengatakan, sebuah kelahiran kembali (natalitas) manusia yang secara kultural akan mengantarkan dan melampaui kenaturalannya memalui proses  kultural. jadi manusia politis itu bukan sebuah tindakan natural yang mengandaikan dan mengantarkan kita pada keniscayaan sebagaimana Aristotelian. Sebaliknya, Tindakan politis akan mengarakan kita apada ketakterhinggaan, ketakterdugaan, dan ketakdapatdiulanginya. dan ketidak dapat diulanginya itulah yang melahirkan suatu tindakan (pluralitas) yang paling manusiawi. Kira-kira demikian inilah inti dari pada pemikiran Hannah Arendt   mengenai manusia politis.
            Dengan demikian, jika kebabasan adalah sebagai barometer terbentuknya manusia politis dan pluralitas merupakan bukan prasyarat mutlak, maka kebalikan dari itu (ketidakbebasan dan ketunggalan) adalah apolitis. Sementara manusia bukanlah manusiawi kalau tidak politis.  dalam hal ini, politik bukanlah sebuah alternatif bagi kehidupan manusia, melainkan politik adalah sebuah pencapaian puncuk eksistensi dimana manusia menemukan kebenaran bahwa ia adalah manusia.  Alasan adanya ini adalah bahwa politik merupakan ruang bagi tindakan (vita activa) dan pemikiran (vita contemplativa).
            Tidak lepas dari kotak analisa itu, Arendt  sebenarnya mengajak kita memikirkan apa yang sedang kita lakukan. Dengan kata lain tujuannya adalah untuk mengisolasi esensi pengalaman politik kita dalam dunia modern. karena Arendt  berusaha menciptakan sebuah ontologi politik, ia pertama-tama harus bergulat dengan ketidaksinambungan dan rasa kehilangan yang dihadirkan modernitas. Salah satu aspek terpenting masa lalu yang hilang dari modernitas adalah pemahaman tentang makna semestinya tindakan politik (political action). Maka dari itu, Arendt  percaya bahwa politik autentik hanya bisa terjadi melalui pertimbangan publik atas tujuan-tujuan bersama, bukan melalui konflik partisan buta atau administrasi rutin.[3] Kebebasan autentik hanya berasal dari kata-kata mulia dan perbuatan besar orang-orang yang terlibat dalam kegiatan politik. Penekanan Arendt  pada tindakan (action) sebagai esensi kebebasan dan mansuia politis, adalah sebagai pijakan awal kita untuk menganalisis pemikiran Arendt  tersebut.

II.                Biografi Singkat Hannah Arendt 
            Hannah Arendt   lahir di Hannover, Jerman pada 14 Oktober 1906 dan meninggal di New York City pada 14 Desember  1975 atau pada umur 69 tahun. Ia merupakan seorang teoritikus politik -bukan politikus- dan sering juga dijuluki sebagai filosof meskipun ia selalu menolak label itu dengan alasan bahwa filsafat berurusan dengan “manusia dalam pengertian singular.” Ia menggambarkan dirinya sebagai seorang teoritikus politik karena karyanya berpusat pada kenyataan bahwa “mansuia pada umumnya bukan manusia saja, hidup dimuka bumi ini dan menghuni bumi ini.”[4]
            Arendt  dilahirkan dalam keluarga  Yahudi sekuler di kota Liden[5] dan dibesarkan di Konigsberg[6] serta Berlin. Ia belajar filsafat bersama Martin Heideggeer di Universitas Marburg dan lama menjalin hubungan romantik yang sporadis dengannya.[7] Arendt  kemudian pindah ke Heidelberg untuk menulis disertasi tentang konsep cinta-kasih dalam pemikiran Santo Agustinus, di bawah bimbingan filsuf-psikolog eksistensialis Karl Jaspers. 
            Pada tahun 1929, Arendt  berencana untuk menerbitkan disertasinya itu. Namun, Arendt  dihalangi ketika ia menyusun tulisan habilitasi[8] pada tahun 1933 karena ia seorang Yahudi. Setelah itu ia meninggalkan Jerman dan pergi ke Prancis. Disana ia berjumpa dan bersahabat akrab dengan kritikus sastra dan mistikus Marxsis Welter Benjamin. Sementara di Prancis, Arendt  bekerja untuk mendukung dan membantu para pengungsi Yahudi. Namun, karena sebagian wilayah Prancis diduduki militer Jerman setelah Prancis menyatakan perang pada Perang Dunia II, dan dideportasinya orang-orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi.
            Untuk menghindari perang itu, Hannah Arendt   harus melarikan diri dari Prancis. Pada tahun 1940, ia menikah dengan penyair dan filsuf Jerman Heinrich Blucher kemudian pada tahun 1941 Arendt  melarikan diri bersama suami dan ibunya ke Amerika Aerikat (AS) atas bantuan diplomat Amerika Hiram Bingham IV, yang secara ilegal mengeluarkan visa untuknya dan sekitar 2.500 orang pengungsi Yahudi lainnya. Di AS ini ia banyak bertemu dengan inteletual dan penulis New York. Kemudian ia menjadi aktif dalam komunitas Yahudi Jerman di New York dan menulis untuk mingguan Aufklarung. Pada tahun 1950, ia resmi menjadi warga negara AS berdasarkan naturalisasi. ia menjadi terkenal lewat penerbitan The Origin of Totalitarianism pada tahun 1951. Setelah itu, buku-buku berharga lain yang ditulis oleh Arendt  perlahan mengikuti penerbitannya. Ia juga mengajar di beberapa akademi serta menulis banyak esai penting tentang filosofi budaya dan panggung politik Amerika. dan pada tahun 1959 Arendt  menjadi perempuan pertama yang diangkat ke dalam jabatan profesor penuh di Universitas Princeton.[9]
            Adapun beberapa karya Hannah Arendt yang hingga sekarang masih menjadi rujukan para pemikir politik diantaranya adalah The Human Condition (1963), Der Leibesbegriff Bei Augustin. Versuch Einer Philosophischan Interpretation (1929), The Origin of Totalitarianism (1951), Rahel Varhagen: The Life of a Jewish Woman (1958), Between Past and Future (1961), On Revolution (1963), Crises of The Republic: Iying in Politic; Civil Disobedience; Thoughts on Politic and Revolution (1969).[10] Dan masih banyak karya-karya lainnya yang belum diterbitkan setelah kematian Arendt.

III.             Vita Activa dan Manusia Politis
            Sosok Hannah Arendt   selalu menyukai hal-hal yang triadik untuk menggolongkan kegiatan fundamental manusia. Dalam vita avtica (tindakan) ada tiga fakultas yaitu, kerja (labour), karya (work) dan tindakan (action).[11] Vita activa ini menjadi kata kunci Arendt untuk membedakan antara manusia politis dan apolitis. Kerja (labour) adalah kaitan yang berhubungan dengan proses bilogis manusia  dengan pertumbuhan spontan, metabolisme dan peluruhan tak terelakkan yang terkait  pada kebutuhan-kebutuhan vital yang dihasilkan dan diberikan kedalam proses  kehidupan melalui kerja. Kondisi kerja manusia adalah kehidupan itu sendiri.[12]
            Sedangkan karya (work) adalah kegiatan yang berhubungan dengan ketidakalamiahan eksistensi manusia karena karya membutuhkan sebuah dunia “benda-benda bantuan” yang sangat berbeda dengan seluruh benda alami di sekitarnya dalam batas-batasnya setiap kepentingan individual ditempatkan (catata: kurang jelas). Kemudian tindakan (action) adalah satu-satunya kegiatan yang terjadi secara langusng diantara mansuia-manusia tanpa perantaraan benda-benda (kritik). Pada Tindakan inilah yang menjadikan mansuia bisa berbeda dalam suatu kondisi bersama manusia lainnya.[13]  “saya melakukan sesuatu yang bisa dikatakan tindakan sejauh bisa bisa dipahami oleh orang lain.” Jadi, kalau kita bertindak tanpa ada yang memahami tingkah kita, itu bukan tindakan. Itu kategori kerja dan karya.
            Sebuah pandangan berbeda juga diutarakan oleh pakar Hannah Arendt, Mary G. Dietz.  Bagi Mary, Arendt  melalui The Human Condition dengan membedakan tiga “kapasistas umum manusia yang muncul dari kondisi manusia dan permanen, yaitu yang tidak dapat dihilangkan selama kondisi manusia itu sendiri tidak  dirubah.” Tiga kapasitas dan kondisi-kondisi mereka yang berkaitan adalah “kerja dan kehidupan, karya dan keduniawian, serta tindakan dan pluralitas; bersama-sama ketiganya membentuk vita activa.”[14] Arendt  membayangkan kerja, karya dan tindakan bukan sebagai generalisasi-generalisasi empiris atau sosiologis tentang apa yang sebenarnya orang perbuat, namun lebih sebagai kategori-kategori eksistensialis yang dimaksudkan untuk membedakan vita activa dan mengungkapkan apa yang diartikan sebagai menjadi manusia “dalam kehadiran manusia lain.”Dalam cara yang benar-benar normatif, Arendt  ingin menulai kondisi manusia pada gilirannya mengajak kita untuk memikirkan apa yang sedang kita perbuat ketika kita mengartikulasikan dan menjalani kondisi-konsisi eksistensi kita dalam cara-cara tertentu.
            Titik penting dari vita activa adalah dalam kategori tindakan (action). Sebagaimana diatas, tindakan selalu menghasilkan ketakterhinggaan, ketakterdugaan, dan ketakdapatdiulanginya. Karena itu, para pakar Hannah Aredt mengatakan bahwa tindakan   selain selain menghasilkan hal yang politis, tetapi juga sebaliknya.[15] Namun, yang dimaksud Hannah Arendt disini adalah bahwa tindakan selalu diakitkan dengan ruang publik. dalam artian, sesugguhnya yang dilakukan tidak diruang publik, itu bukanlah tindakan, itu adalah kategori kerja dan karya. Sesuatu bisa dikatakan tindakan sejauh mempunyai cantelan di ruang publik. 
            Arendt membagi dua hal sebagai kategori dari ruang publik yang tidak bisa dipisahkan, yaitu:  pertama, ruang publik adalah sebagai ruang diskursus, ruang penampakan, dan ruang penyingkapan. Hal ini merupakan kategori transendental dalam pemikiran ruang publik Hannah Arendt. Ruang publik bukan hanya berdampak politis, tetapi juga epistemologis. Dan kebenaran itu bukan hanya kebenaran individu, tetapi kebenaran publik. kedua, ruang publik sebagai dunia bersama.
            Ruang publik sebagai ruang penampakan dalam arti segala sesuatu yang tampak di publik dapat dilihat dan didengar oleh siapaun dan berpeluang untuk terpublikasikan seluas-luasnya. Arendt  mengatakan, penampakan – sesuatu yang bisa dilihat dan terdengar, kekuatan terbesar dalam hidup kita yang paling intim – hasrat hati, pikiran, dan kehendak – mengarah pada eksistensi yang tidak jelas dan berbayang- bayang, kecuali kalau hal itu sampai ditransformasi, di deprivatisasi dan dideindividualisasi..... kedalam bentuk yang sesuai untuk ruang penampakan.... kehadiran orang lain yang melihat apa yang kita lihat dan dengar menyakinkan kita tentang dunia dan diri kita.....”[16]
            Ruang publik sebagai ruang penampakan berarti ruang dimana saya sebagai manusia dikenali sebagai manusia oleh yang lain karena saya “berada diantara mansuia” (inter homines esse). Ruang publik sebagai ruang penampakan akan memisahkan apa-apa yang tidak relevan dengan kehidupan bersama itu sebagai “masalah privat” dan karena itu “cahaya kepublikan” itulah yang menyinari apa yang privat, bukan sebaliknya.[17]
            Ruang publik sebagai dunia bersama (common world), dalam arti dunia yang kita pahami bersama, hidup bersama, adalah dunia “yang umum atau sama bagi kita semua, yang berbada dari tempat kita yang privat di dalamnya. Dunia tidaklah sama dengan bumi atau alam. Kalau bumi atau alam  adalah ruang bagi seluruh mahluk hidup, maka dunia adalah sebuah kategori khas bagi manusia. Maka dari itu, dunia menghubungkan sekaligus memisahkan manusia dalam waktu yang sama.[18] Dalam analogi yang sangat sederhana, ada sebuah meja yang ditempatkan diantara mereka yang duduk mengelilinginya. Jika meja itu hilang, maka hilanglah kebersamaan itu.
            Lebih lanjut, Arendt  mengatakan bahwa ruang publik sebagai dunia bersama adalah “dunia yang kita masuki ketika kita lahir dan dunia yang kita tinggalkan ketika mati. Melamelampaui rentang waktu hidup kita di masa lalu atau masa depan; ia sudah ada sebelum kita datang dan akan hidup lebih lama dari  kita. Ia adalah dunia yang kita miliki bersama bukan hanya dengan orang yang hidup bersama kita, melainkan dengan orang yang sebelum kita dan dengan orang yang datang sesudah kita. Tapi dunia bresama hidup lebih lama untuk generasi yang akan datang hanya sejauh ia tampak di publik. Manusia memasuki ruang publik karena mereka menginginkan sesuatu yang adalah milik mereka sendiri atau sesuatu yang mereka miliki bersama dengan orang lain untuk melanggengkan kehidupan mereka dibumi ini.
            Dunia bersama akan mengalami distruksi paling tidak dalam dua hal. Pertama, adalah ketika terjadi isolasi radikal, dimana semua orang tidak lagi saling memberikan persetujuan.[19] Sebagai contoh adalah dalam pemerintahan  tirani, atau dalam masyarakat anarkis. Dan kedua, adalah dalam “masyarakat massa” atau “histeria massa” dimana kita melihat semua orang tiba-tiba bertingkah seolah-olah mereka adalah anggota dari satu keluarga, masing-masing menggandalkan dan melestarikan perspektif orang disekitarnya.[20] Dalam kedua kasus ini, manusia telah berubah total menjadi privat, yaitu bahwa mereka tidak lagi dapat melihat dan mendengar yang lain. Dengan demikian, politik menjadi lenyap ketika yang publik menjadi yang privat. 
           
IV.             Pluralitas; Awal Terbukanya Ruang Politik
            Sebagaimana yang sudah diungkap diatas bahwa pluralitas menuparan prasyarat bagi tindakan (action) dan ucapan (comunication) manusia yang selanjutnya akan menjadi ruang dielktika antara kesamaan atau kesetaraan dan kebedaan. Kesamaan menjadi basis bagi adanya pemahaman terhadap satu sama lain bagi perencanaan dan ramalan akan kebutuhan manusia-manusia masa depan. Kebedaan menjadi basis bagi tindakan dan ucapan agar bisa dimengerti. Sebagaimana kata Arendt, jika manusia tidak sama, maka mereka tidak pernah bisa saling mengerti dan melihat kebutuhan manusia masa depan. Tapi, jika manusia tidak berbada, mereka tidak butuh tindakan dan ucapan untuk saling mengerti.[21]
            Untuk bertindak, manusia pertama-tama harus memasukkan tuntutan-tuntutan kehidupan, memiliki sebuah lingkup pribadi bagi kesendirian, dan juga memiliki sebuah dunia stabil dimana didalamnya mereka bisa mencapai “solidaritas” dan mendapatkan kembali kesamaan mereka. Pada saat bersamaan, manusia memiliki kemampuan-kemampuan luar bisa yang tidak dicakup kerja maupun karya. Mereka bisa membuka diri dalam  ucapan dan perbuatan, serta menjalankan awalan-awalan baru sehingga mengingkari ikatan-ikatan alam dan bergerak melampaui cara atau tujuan yang membatasi homo faber. Tanpa tindakan yang mendatangkan awaln-awalan baru (natalitas), kedalam permainan dunia, Arendt  menulis, ,tiadak suatu yang baru di bumi; tanpa ucapan, tiada memorialisasi, tiada kenangan. Tidak seperti kerja ataupun karya, tindakan tidak memiliki sinonim latin tunggal yang berkesesuaian untuk menagkap aspek kehidupan manusia yang pada dasarnya kolektif, ketimbang soliter atau dicirikan oleh keterpisahan orang-orang. Kondisi kolektif ini dimana ucapan dan tindakan terwujud yang disebut Arendt sebagai kondisi pluralitas manusia.[22]
            Pluralitas kemudian menjadi kunci untuk memahami Arendt  mengenai tindakan yang ada dalam vita activa tersebut. Ia menggunakannya untuk mengeksplorasi situasi yang mereka capai ketika sedang berumpul bersama dan bertindak dalam keselarasan. Dalam pengertian umum, pluralitas adalah terwujudnya simultan kesetaraan bersama dan perbedaan-perbedaan individual. Arendt  menyebutnya sebagai “kondisi dasar tindakan dan ucapan.”[23] Dengan demikian, tanpa kesetaraan, individu-individu tidak akan mampu memahami satu sama lain atau berkomunikasi, dan tanpa keberbedaan, mereka tidak memiliki kebutuhan atau alasan untuk berkomunikasi, tiada dorongan untuk menusup sebagai pribadi-pribadi yang “unik” [24] untuk masuk kedalam dunia bersama. Pluralitas selanjutnya adalah kondisi tindakan bersama dimana manusia mengungkapkan “keberbedaan unik” mereka.
            Ketika Arendt  memperkenalkan pluralitas sebagai sebuah konsep politik dan bukan metafisika,  ia juga menempatkan kondisi bersama ini dalam sebuah ruang terbanyangkan yang disebutnya sebagai “publik” atau “ruang pemunculan-pemunculan.” Publik pampak sangat jelas, berkebalikan dengan lingkup pribadi; ini tempat terjadinya pemunculan individualitas ditengah kolektivitas. Arendt  menulis, Eksistensi terjelas sebuah lingkup publik memberkahi politik sebuah martabat yang bahkan hingga hari ini tidak sepenunnya hilang.[25]
            Konseppluralitas Arendt  sebagai kondisi dasar sebuah tindakan dan ucapan memungkinkannya mengkonseptualisasi ulang politik dan kekuasaan secara signifikan. Sebenarnya, politik yang bermartabat adalah perwujudan pluralitas mansia. kekuasaan menurut Arendt  adalah sebagai “bertindak bersama-sama,” memelihara ruang pemunculan-pemunculan (publik). politik adalah kegiatan yang menjadikan kita lebih dari sekedar animal laboran, yang tunduk terhadap siklus-siklus proses biologis saja.[26] secara tidak langusng arend menginginkan agar berkembang, lingkup publik memerlukan cara berpikir bahwa kita bisa meletakkan gagasan diri kita ditempat orang lain, dalam cara terbuka, kolektif serta mencermati perbedaan-perbedaan, opini-opini dan kepedulian-kepedilian individual.
            Tidak diragukan lagi bahwa Arendt memahami politik sebagai cara eksistensi lebih unggul dari pada kerja dan karya. Arendt  menempatkan kerja, karya dan tindakan bukan sebagai bangunan kelas atau hubungan-hubungan sosial, namun lebih sebagai sifat-sifat kondisi manusia yang berada dalam jangkauan manusia. Demikian pula “pengucilan dunia” kita bukanlah masalah bangkitnya massa-massa atau terancamnya aristokrasi-aristokrasi, melainkan kaitan dengan  fakta bahwa sebagai manusia-manusia, kita dengan cepat kehilangan kapasistas kolektif untuk menjalankan kekuasaan  melalui ucapan dan perbuatan bersama, dan semakin pasrah menerima eksistensi yang diatur oleh perhitungan-perhitungan instrumental himo faber dan mentalitas proses animal laboran



Daftar Pustaka

Arendt, Hannah, Human Condition, edisi kedua, dengan Kata Pengantar oleh Margaret Canovan, Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1998 (1958).
Riyadi, Eddie S., “Politik sebagai Relasi Kebebasan: Sebuah Tilikan terhadap Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Menurut Hannah Arendt”, dalam Rocky Gerung (ed.), Kembalinya Politik: Pemikiran Politik Kontemporer dari Arendt sampai Zizeck, Jakarta: Marjin Kiri dan P2D, 2008.
Losco, Joseph-Williams, Leonard, political theory, edisi kedua, diterjemahkan oleh Haris Munandar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Riyadi, Eddie S., Manusia Politis Menurut Hannah Arendt; “Pertautan antara Tindakan dan Ruang Publik,Kebebasan dan pluralitas, dan Upaya Memanusiakan Kekuasaan,” dalam diskusi di Komunitas Salihara, Jakarta, 2011.




[1] Disampaikan dalam diskusi kajian tokoh rutin malam sabtu di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’arie Yogyakarta (3 januari 2012).
[2] Mantan aktivis Lampu Merah Institut, Malioboro, Yogyakarta.
[3]Joseph Losco dan Leonard william, Political Theory edisi ke II, Raja Grafindo Persada, 2005. 913. 
[4]Sebagaimana yang sudah disinggung dalam pendahuluan diatas, bagi Arendt   mansia pada umumnya adalah manusia yang hanya bisa kerja (labour) dan karya (work) sementara manusia politis adalah yang memiliki fakultas bertindak (action). Bertindak (ekspresi) terdapat dalam ruang publik, bukan ruang privat.
[5] pada waktu itu Liden merupakan kota independen yang sekarang sudah merupakan bagian dari Hanover.
[6] Kota tempat tinggal pendahulunya yang sangat dikagumi oleh Arendt , yaitu Imanuel Khant.
[7] Namun hubungan Heidegger dengan Arendt  tersebut banyak dikritik dengan alasan Heidegger terhadap Nazi.
[8] Karya tulis sesudah penulisan disertasi yang merupakan prasyarat untuk mengajar di universitas jerman.
[9] Diambil dari wikipedia bahasa indonesia, ensiklopedi bebas.
[10] Ibid.
[11] Joseph Losco dan Leonard william, Political Theory edisi ke II, Raja Grafindo Persada, 2005. 916. 
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Mary G. Dietz: Hannah Arendt   dan Politik Feminis.
[15] Tafsiran seperti juga banyak diritik oleh pakar Hannah Arendt lainnya sebagai tafsiran yang keliru. Mengapa? karena bukan implikasi dari ketakterdugaan itu.
[16] Joseph Losco dan Leonard william, Political Theory edisi ke II, Raja Grafindo Persada, 2005. 918
[17] Eddie S. Riyadi Langgut-terre, dalam makalah Manusia Politis Menurut Hannah Arendt  .  
[18] Ibid.hal.6
[19] Joseph Losco dan Leonard william, Political Theory edisi ke II, Raja Grafindo Persada, 2005. 930. 
[20] Ibid.
[21] Kutipan dari human condition yang diterjemahkan oleh haris munandar.2005.hal,86.
[22] Mary G. Dietz: Hannah Arendt   dan politik feminis.
[23] Kutipan dari Human Condition yang diterjemahkan oleh Haris Munandar.2005.hal.249
[24] Kutipan dari human condition yang diterjemahkan oleh haris munandar.2005. Gejolak politik spontan rakyat china di lapangan Tiananmen adalah salah satu contoh paling dramatis dari apa yang Arendt  sebut sebagai “tindakan” dan “pluralitas”. Apa yang bangkit disana adalah sebuah komunitas sesama, dimana setiap orang memiliki kapasitas yang sama unutk bertindak....dan ketidakmungkinan sosok-sosok unik tersisa akan apa yang mereka perbuat, untukmengetahui konsekuensi-konsekuensinya dan bersandar pada masa depan (hal 244). Arendt  menyebut ini harga yang dibayarkan bagi pluralitas demi kesukacitaan menghuni dunia bersama orang lain yang realitasnya bagimasing-masing dijamin oleh kehadiran dari semuanya. Jadi penekananya adalah pada “ketakterkiraan “dan “ketakterbatasan” tindakan, maupun kemuliaan inheren dan kolektivitasnya yang tak terelakkan.
[25] Ibid. Hal, 246.
[26] Ibid. 

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda