Rasa yang Terselip Dibalik Sarung - KMPP Yogyakarta

Rabu, Maret 02, 2016

Rasa yang Terselip Dibalik Sarung


Sumber Foto : kontesblogmuslim.com

1.
 Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...
 Asyhadu Alla ilaaha illa Allaah.. Asyhadu Anna Muhammadar rosulullah...
 
Suara adzan bertalu-talu di masjid at-Taqwa di ujung jalan. Suara serak yang khas muadzin membuat suasana fajar subuh menambah deretan khazanah suara pedengkuran orang yang tidur. Masjid itu nampak sederhana, dengan kelebaran 15 x 10 meter yang dindingnya terbuat dari kayu jati, selayaknya rumah Gebyok. Serta tiang-tiang di dalam masjid masih berdiri kokoh meski nampak keropos disana-sini. Bedug masjid yang sudah jebol salah satu sisinya masih terpampang di sudut depan masjid layaknya pajangan barang purbakala museum Sangiran Sragen.

Sreeekkkk.....
Suara tirai pintu dibuka lebar. Hingga nyamuk-nyamuk terbang keluar pelan, naik-turun, tak kuasa membawa perut buncitnya yang terisi penuh darah korbannya.

“Doel...Si Doel...Tangi le.... solato disek, wes subuh le...!!!” perintah wanita yang usianya sudah senja sambil memegang dan menggoyang-goyangkan tangannya Doel.
“Hmmmmm... ngko sek lah mak, seh peteng kog, iqomat wae rung, ma’e mangkat disek neng masjid aku ngko nyusul, hoooaaammmm.....”Tungkas Doel yang masih ngantuk berat sembari menjunjung selimut hingga se-dada. 
Hingga sholat Subuh berakhir pun Doel ternyata tak kunjung datang. Dengan geram emakya segera melangkahkan kakinya menuju kamarnya. 

“Astagfirrullooohh.... le...le..., koe ki wes gede, wes diwajibke sholat... malah mbok sepele, pengen melebu neroko koe?!”kata Emaknya Doel, Hindun, dengan nada tinggi serta menjulurkan tangannya untuk menjewer kuping anaknya itu. 

“Ahhhh aaa...aaa..aaampuuuun mak, ampun...”teriak Doel kesakitan.
“Nak ngene carane koe tak pondokno le... ben dadi wong bener tur kebeneran..!!!”tutur mak Hindun bernada kesal. 

Si Doel yang hanya lulusan SMA dan hidupnya dengan penuh pengangguran masih menjadi beban emaknya yang bekerja hanya sebagai petani seorang diri. Setelah ditinggal suaminya, Sukardi, mati karena hanyut di kali saat memancing. 

2. 
Singkat cerita, Si Doel akhirnya melangkahkan kakinya di pondok Al-Alim, di kotanya sendiri, dengan terpaksa, terpaksa bukan karena diancam, tetapi terpaksa untuk menghindari omelan serta serangan fajar, jeweran, saban hari.

Si Doel dengan baju kotak-kotaknya menyusuri jalan komplek pondok dengan menenteng tas dan kardus mie sedap berisi pakaian kumalnya, mencari rumah pak kiai untuk sowan. Hingga akhirnya terlihat rumah yang ramai dengan orang-orang yang memakai baju koko serta sarung mengantri di rumah itu. Mengekorlah Doel dalam antrian itu paling ujung, sampai pada gilirannya, Doel bersalaman dengan calon kiainya, Kiai Abdur. Serta mengutarakan maksud tujuan sowan. 

“Ngapuntene kiai, kulo badhe derek ngaos teng mriki, neng kulo mboten gadah artho kiai, kulo pengen mondok lan ngalap barokahe jenengan”kata Doel memelas.
“Yowis gak po-po, masalah biaya ra sah dipikirke ngger, insyallah angger koe gelem tenanan ngaji bakal entuk barokah, entuk kemulyaan neng dunyo iki” ujar Kiai Abdur dengan bijak.
 
Setelah berpamitan dan mengurusi administrasi pendaftaran, Doel ditempatkan di asrama Ali bin Abi Thalib, samping kediaman rumah kiai.

 “Eh...eh... bakal warek rek, ono santri anyar lagi teko, ra sio-sio lek ku sholat dhuha terus...hahaha” bisik Saiful ketua kamar 2 Ali bin Abi Thalib kepada teman-temannya.
“Wah yo lek... bakal pesta ki, delalah pas wayah kirimanku rung teko, lumayan kanggo nyambung urip..hehe” kata Anwar, yang memiliki tubuh paling sangar kamar 2.

Penghuni yang lain pun ikut menyambut dengan suka cita dengan kedatangan Si Doel, santri baru. Seperti tradisi di pondok-pondok manapun, santri baru harus membawa jajanan atau makanan untuk tanda perkenalan, bisa dibilang pajak tempat dan keamanan. Setiba di dalam kamar, Doel seraya jadi artis panggung rebana yang semua mata tertuju kepadanya. Namun, dengan wajah polosnya- Si Doel membalas dengan senyum yang dimanis-maniskan.
 
“khaisu-khaisu...!!!”teriak Anwar keras.
 
Khaisu yang berarti sekiranya, kata khaisu familiar di pesantren Jawa Timur yang konotasinya jajanan atau makanan. Sekali lagi dengan wajah polosnya dia menjawab, khaisu-khaisu juga... sembari senyum yang lagi-lagi dimaniskan. 
Si Doel mengira khaisu sebagai sambutan hangat kepada santri baru oleh santri senior sebagai keluarga baru. Mendadak ruangan kamar 2 terdengar suara dengusan nafas berjamaah. Berbeda dengan ketua kamar, Saiful, lebih memilih menepuk jidatnya.

 “Khaisu iku sekirane ono jajanan utowo panganan kanggo arek-arek kang” celetuk salah satu penghuni kamar 2.

 “Oooooowwww.....ngunu to kang” seru Doel.
“Aku mung gowo beras eg kang,lha pye berasku wae yo?” tanya Doel sambil membuka kardus mie sedap yang ternyata di balik baju kumalnya ada beras yang dibawa. 

Tiba-tiba santri-santri sekamar bubar sendiri dari barisan mengantri jatah jajan. Dan kembali ke aktifitas masing-masing. Ada yang menghafalkan, ada yang menambal makna kitabnya, dan ada juga yang tidur-tiduran sambil melamun ceweknya di rumah. Semenjak kejadian itu, Doel bagai hidup di hutan belantara yang ada hanya dia, dia sendiri, dia yang bertahan hidup sendirian. Tidak ada yang mengajaknya mengobrol. Saking tertekan batinnya, Doel mencurahkan uneg-unegnya kepada kiainya.
Hingga akhirnya kiainya meminta Doel tinggal di rumah kiai, sebagai orang Ndalem (Pembantu.red). Ditempatkan di belakang rumah kiai yang terdapat satu petak kamar berukuran sedang.

 3.
Suara tartil al-Qur’an bersautan di masjid pondok, ketika sholat Subuh telah usai. Banyak santri khusyu’ membaca al-Qur’an dan banyak pula memegang tasbih dengan mulutnya berkomat-kamit. Semakin menembus kalbu dikala fajar diiringi embun pagi yang menyelimuti di sekitaran pondok, dingin tapi sejuk.
Sejuk yang mendamaikan hati dan pikiran dengan melafalkan lafad Allah berkali-kali. Di hari pertamanya Doel sebagai orang dalem, Doel dengan kawan seperjuangan, orang dalem juga, sibuk mempersiapkan sarapan kiai. Dengan sigap Doel mengambil bagian meracik bumbu. Doel yang sudah bertahun-tahun bergelut dalam dunia perkulineran-karena sering membantu emaknya memasak. Ketika Doel asyik dalam mengolah makanan, tiba-tiba Doel terperangah takjub. 
Ketika Seorang wanita berjilbab merah lewat sembari menyunggingkan bibirnya, senyum. Senyum yang membuat organ tubuhnya, jantungnya, sakit karena berdegup kencang. Senyumnya yang membuat lesung pipinya terlihat kentara. Menambah Doel enggan berpaling apalagi melanjutkan kewajibannya, sebagai juru kunci masak.

“Aaaaahhh ya Alloh, ya gusti.... kulo mboten sanggup nahan perasaan niki gusti...” ungkap dalam hati Doel. 

Setelah masakan matang, Doel mempersiapkan hidangan di atas meja pak kiai. Merapikan mejanya seperti restoran ala-ala hotel bintang 5. Setelah membalikkan badan, mata Doel menangkap sebuah bingkai foto wanita. Wanita yang memakai jilbab pink, berbusana gamis motif bunga warna-warni dengan kenes-nya berpose manja. Memang bukan jilbab merah seperti wanita sebelum aku temui, tetapi wajahnya itu... iya wajahnya itu yang mirip sekali dengan wanita yang lewat ketika di pawon. Dug dug duug... desiran darahnya semakin meningkat, membuat degup jantungnya berirama tak karuan.
 
4.
Malam ini, kasur, bantal, lemari, jam dinding dan cicak yang ada di dinding di kamar Doel terasa mendadak hilang di pandangannya, dia hanya bisa melihat bayang-bayang samar wanita itu, wanita yang berjilbab merah itu. Wanita yang telah mengusik kedamaian hatinya. Namun, Doel hanya bisa senyam-senyum sendiri tatkala mengingat kejadian wanita yang lewat itu yang membuat dirinya salah tingkah. Kejadian itu adalah ketika mengaduk adonan tepung untuk menggoreng tempe. Mengaduk tepung dicampur bumbu serta air dengan tangannya sehingga adonan itu menjadi encer.
Pada waktu wanita itu lewat dan memandang Doel, merasa dilihat wanita yang cantik nan putih serta lesung pipinya yang cabi, Doel mencoba tampil sempurna, mengusap keringat di dahi serta membenahkan peci hitamnya agar tegak lurus dengan tangan bekas mengaduk adonan tepung encer.

" Hii..hiii.hhiiii..." terdengar ketawa pelan dari wanita itu, menutup mulutnya yang mungil dengan tangannya yang kelihatan putih halus.

“Kang... sampean santri anyar njeh?” tanya wanita itu yang masih ketawa pelan. “I...ii...iii...njeehhhh...”jawab Doel gugup. Gugup bukan seperti test masuk pondok, membaca Syarah-nya kitab Fathul Qorib. Gugupnya seperti senang bisa berbicara wanita cantik tetapi mulut terasa terkunci. 

“Kang... niku lho jidate sampean wonten gelepunge, pecine sampean malah belang, hitam putih...hehehe”kata wanita itu sambil meninggalkan Doel. Dengan rasa penasaran Doel mencari cermin ada apa gerangan wanita itu berbicara seperti itu kepadanya.
 
“Assssstaggggfirruuullooooooooohhhhh.......jidatku......pecikuuuuu.....”seru Doel tak percaya. Karena malu Doel cepat-cepat membersihkannya, bekas tepung tangannya yang sudah kering menjadi kerak.

 5.
Dari kejadian tepung itu, Doel tidak bisa melupakannya, apalagi ketawanya yang renyah, membangkitkan gelora mudaku, cinta. Semenjak hari itu Doel diam-diam menumbuhkan benih-benih cinta dengan memanjatkan doa agar kelak didekatkan kepadanya. Meski Doel tidak tahu siapa nama wanita itu, tetapi dia memberi nama kepada wanita itu dengan nama, Jamilah. Jamilah yang berarti indah. 

Untuk mengawali perkenalannya, Doel berinisiatif membuat surat untuk Jamilah. 

Assalamualaikum Jamilah...  
Mohon maaf sekiranya aku lancang tak memiliki budi.  
Bukan aku untuk usil apalagi mengganggumu, Kiranya hanya kata-kata ini lah yang menjadi wasilahku untuk bermuwajjahah denganmu. 
Andaikan lidahku tak kelu untuk mengucapkan siapa gerangan wanita yang berjilbab merah itu, 
pastinya aku tidak akan dihantui rasa penasaran siapa namamu  
Sehingga untuk sementara aku memberi nama untukmu, Jamilah.  
Jamilah yang menggambarkan parasmu, senyummu, tatapan bola matamu.
Maaf sekali lagi telah lancang memberi nama tanpa seizinmu.  
Tapi dengan nama itu, aku bisa memanggilmu bukan lagi si wanita berjilbab merah.  
Melainkan Jamilah. 
                                                                                      
                                                                                                       Dalam kamar, sendirian, 23.20 WIB

Keesokan hari, seperti biasanya, Doel sebagai juru kunci masak telah siap meramu bumbu dan memasaknya untuk sarapan kiai Abdur. Akan tetapi, Doel tidak lagi memikirkan bagaimana membuat masakan yang enak untuk kiainya, tetapi bagaiamana cara memberikan suratnya itu kepada Jamilah.

Dengan ditemani Paijo, santri dalem senior, Doel mencoba tanya-tanya mengenai wanita yang berjilbab merah itu, atau Doel menyebutnya Jamilah.
“Eh kang Paijo, seng wingi iku ayu yo kang?”tanya Doel memancing percakapan. 

“Sengdi? Si Siti? arek Suroboyo iku?”Kata Paijo membalas dengan pertanyaan juga
“Uduu.. kang, Si Siti aku kenal, Siti si wonge centil gaene godani aku” timpal Doel.
“Lha sengdi toh Doel?” kata Paijo mengeryitkan kening
“Iku lho Kang, si jilbab abang seng wingi lewat...hehe” ujar Doel gembira
“Owalaaahh... iku jenenge Neng Zaenab, putrine kiai Abdur”tutur Paijo Sejenak hening, Doel tak percaya kalau dia menyukai wanita yang menjadi putri kiainya.
“Hmmmm......”gumam Doel.
“Neng Zaenab iku emang ayu tenan, akeh santri seng seneng, wes terkenal neng daerah kene Doel, akeh gus-gus seng pengen ngelamar, neng yo kiai Abdur pengen mantu seng bener-bener iso ngelola pondok, reti dewe to, kiai Abdur mung duwe anak wedok siji. Yo nak kanggo awake dewe, awake dewe iki koyo si pungguk merindukan bulan. Mung iso nyawang senajan awake dewe tresno. Opo neh aku dungu-dungu Neng Zaenab wingi wes dilamar karo Gus Imron songko Kediri” tutur Paijo Doel hanya bisa terdiam, diam terpaku oleh kenyataan. 

Tercekat lehernya hingga tak mampu menelan kenyataan. Ingin rasanya Doel lari menjemput Neng Zaenab dan membawanya pulang untuk dipersunting. Tetapi Doel tak punya nyali yang lebih untuk itu. Hanya saja Doel memegang surat yang dibuatnya tadi malam, tersimpan di balik sarungnya. Meremas surat itu, mencoba untuk melenyapkan surat terkutuk itu serta perasaan yang pernah tumbuh bersemi di hatinya.

                                                                          THE END

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda