Tanah adalah
harta yang sangat berharga bagi petani, dari sepetak tanah harapan dibumbungkan
setinggi langit. Cita-cita masa depan dirangkai melalui hasil panen yang
biasanya dihasilkan dari sebidang tanah yang petani miliki. Bahkan seorang
petani rela menghabiskan separuh hidupnya hanya untuk melihat benih-benih tumbuh
dengan subur dan hasilnya dapat dinikmati untuk menyambung hidup keluarga mereka.
Gambaran di atas
memperlihatkan bagaimana tanah menjadi alat produksi yang sangat dominan bagi masyarakat di pedesaan.
Keberadaan tanah menjadi hal yang mendasar bagi berjalannya kehidupan mereka. Hal
inilah yang sebenarnya disadari oleh kedua tokoh proklamator bangsa kita
Soekarno dan Hatta dalam upaya menjadikan tanah menjadi penopang utama
kemakmuran bangsa. Kedua tokoh Soekarno Hatta sangat memahami bagimana
kebijakan pertanahan atau biasa disebut agraria pada masa kolonial Belanda yang
kebijakan-kebijakannya sangat merugikan masyarakat petani kelas bawah.
Sejarah panjang
mengenai tata kelola agraria yang ada di negeri ini dimulai dari kebijakan
pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial menciptakan dasar-dasar hukum bagi menjamin terjadinya akumulasi modal yang
dilakukan oleh perusahan-perusahan Eropa yang menanamkan investasinya di Hindia
Belanda untuk mengelola perkebunan-perkebunan kapitalis yang memproduksi komoditi ekspor. Hal ini
secara lebih terperinci diatur dalam UU Agraria (Agrarische Wet) yang
dikeluarkan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1870.
Kebijakan
tersebut mengakibatkan surplus komoditi bagi kaum kapitalis Belanda karna
pengelolaan tanah yang hanya diperuntukan untuk komoditi ekspor seperti gula,
kopi, karet dapat diolah dengan biaya produksi yang sangat murah dengan
penjualan yang cukup mahal di negeri Eropa. Sistem agraria yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda saat itu adalah memaksakan kebijakan –kebijakan politik ekonomi kepada
pribumi yang dilakukan untuk mendapatkan lahan dan buruh yang murah, hal ini
dilakukan untuk menopang berjalannya sistem kapitalisme yang dijalankannya.
Dalam UU agraria 1870 tersebut dijelaskan adanya hak-hak untuk mengonsensi
perkebunan yang diberikan perusahan-perusahan asing untuk mengelola tanah
negara, mendapatkan pekerja perusahaan, memobilisasi secara paksa untuk mengerjakan perkebunan yang ia miliki. Dan setiap gerakan protes
yang dilakukan oleh para pekerja mereka mengunakan radilkalisme,
milineralistik dan represi untuk meredam gerakan protes yang dilakukan
masyasrakat oleh rezim kolonial Belanda.
Akar permasalah
tata kelola agraria inilah yang membuat Soekarno bersikeras untuk merubah
dominasi kolonial dalam masalah penguasaan tanah yang dispesifikasikan dalam
gerakan revolusi di awal masa kemerdekaan. Tetapi hal itu tak semudah yang
Soekarno bayangkan kondisi politik yang masih labil dan belum mapan membuat
gerakan untuk menata ulang sistem agraria yang ada belum bisa dijalankan secara
maksimal.
Kondisi setelah Soekarno
mengganti sistem pemerintahan dengan demokrasi terpimpin dengan gagasan yang
ingin mewujudkan dengan apa yang disebut “Sosiallisme Indonesia” dimana dalam gagasan tersebut wacana “Revolusi” mulai diglorakan
kembali. Hal ini bertujuan untuk mengorganisir negara dan masyarakat untuk menciptakan
tatanan baru dalam suatu bangsa, gagasan tersebut secara ekplisit terangkum
dalam pidato Presiden Soekarno yang berjudul Manivesto Politik, Menemukan
Kembali Revolusi Kita.
Kemudian
gagasan diatas mulai direalisasikan dalam kebijakan politik pada tanggal 24
September tahun 1960 untuk menetapkan sebuah peraturan Agraria baru yang
termuat dalam Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA). Sebulan sebelum UUPA
ini disahkan oleh Presiden Soekarno berpidato dengan judul “Laksana Malaekat
yang Menyerbu dari Langit. Jalan Revolusi Kita” dalam pidatonya itu dia berencana untuk
membuat undang-undang (UUPA) sebuah basis hukum untuk perubahan Revolusioner
dalam hubungan kolonial dan feodal. Soekarno menempatkan golongan petani dan
buruh, sebagai tokoh gurunya Revolusi. Hal Inilah yang dianggab kemajuan paling
penting dalam revolusi Indonesia. Pemerintahan Soekarno sangat yakin UUPA 1960 ini, dapat menjadi rantai
pemutus masalah-masalah agraria yang berasal dari kebijkan kolonial dan
sisa-sisa feodalisme, dan menjadi landasan untuk fondasi ekonomi nasional.
Terbitnya UUPA
mengawali babak baru reformasi agraria yang sering disebut dengan progam land
refrom yang ada di Indonesia. Progam ini bertujuan untuk menghapus kelas
tuan tanah yang tanahnya digarap oleh buruh tani, dan dalam upaya mengurangi
petani tanpa tanah dengan cara memberikan tanah milik atas dasar prinsip tanah
untuk mereka yang menggarap diatasnya.
Gerakan
aktif pun dilakukan pada tahun 1964 oleh Partai PKI yang diorganisir oleh
organisasi resmi di bawah partai PKI yaitu BTI. Mereka melancarkan aksi sepihak
untuk pengambil alihan dan menduduki tanah-tanah yang mereka anggap
didistribusikan kepada petani. Gerakan ini merupakan bentuk kekecewaan atas
peranan dan penerapan land refrom dianggap berjalan lambat, karena tuan tanah
yang sebagaian besar berafiliasi dengan partai-partai Islam menghalang-halangi
penerapan peraturan tersebut. Aksi-aksi yang dilancarkan oleh PKI tersebut
dipandang sebagai sikap politik resmi partai untuk melawan tuan tanah yang menolak untuk mengikuti gerakan land
refrom.
Tetapi gerakan tersebut tidak bertahan lama sebuah
tragdi berdarah terjadi di pagi buta pada tanggal 30 September tahun 1965,
dengan diculiknya ke tujuh jendral AD
yang dibunuh dan mayatnya dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah pangkalan
udara Halim Perdana Kusuma Desa Lubang Buaya. Sebuah pristiwa yang menamakan
dirinya dengan G30 S PKI ini dipimpin oleh kolonel Untung. Gerakan ini menjadi
titik awal berakhirnya kekuasaan presiden Soekarno, dan menjadikan sebuah luka yang
mendalam bagi Bangsa Indonesia karena dari tragedi ini pembunuhan secara massal
terjadi terhadap masyarakat yang dilklaim sebagai anggota PKI, gerakan yang
diinisiasi oleh Soeharto yang akhirnya
menjadi catatan kelam sejarah Bangsa Indonesia dan menjadi kudeta poltik
atas kekuasaan Soekarno.
Berakhirnya
kekuasaan Soekarno juga menandai awal baru kepemimpinan Soeharto. Kepemimpinan
baru ini muncul dengan rezim yang otoriter, hak-hak sipil diberangus, demokrasi
sebagai simbol semata dan Pancasila digunakan sebagia asas tunggal
yang digunakan untuk menghegemoni masyrakat luas. Hal ini juga memberi tanda
dengan apa yang disebut dengan era baru dengan sebutan “kontra revolusioner”
yang memberangus gerakan-gerakan revolusi yang digagas oleh Presiden Soekarno. Gerakan
lend refrom pun tak luput untuk
diberhentikan dan kondisi tentang agraria berbalik arah kembali pada kondisi
awal pada zaman kolonial.
Semenjak itulah
kebijakan agraria di Indonesia semakin melemahkan rakyat kecil. Hal ini terlihat jelas di saat
rezim Soeharto berkuasa kebijakan ekonomi yang mengunakan lima paradigma besar
seperti yang diungkapkan oleh Robison yaitu nasionalisme, populisme,
birokratisme, predatoris, dan liberalisme- sangat mempngaruhi jalannya kebijakan
untuk dimanfaatkan rezim Soeharto.
Dominasi
investasi asing yang begitu kuat di awal pemerintahan Soeharto membuat nasionalisme ekonomi bisa dilihat dengan
jelas ketika pemerintah membangun Pertamina yang ditandai dengan
kenaikan mendadak anggaran negara dari pendapatan minyak. Perusahaan minyak
raksasa milik negara ini menjadi sumber devisa asing yang cukup besar. Hal ini
diuntungkan dengan harga minyak yang melambung tinggi pada dekade 1973-1974
yang sangat membantu rezim Soeharto untuk menancapkan kekuasaan dan wewenangnya
terhadap aparat negara, sehingga anggaran yang besar dapat diarahkan pada
investasi besar dalam proyek-proyek industri hulu, seperti semen,besi dan
lainnya.
Hal ini
mengakibatkan semua investasi yang diarahkan pada nasionalisasi ekonomi ini
telah mengakibatkan pada penciptaan sebuah kebijakan yang mengunakan atau
pengambilalihan tanah untuk proyek-proyek pembangunan tersebut. Agenda
nasionalisasi ekonomi diperuntukan untuk mengubah ekonomi dari yang berfokus
pada produksi komoditi rendah ke komoditi industri yang lebih maju. Sehingga
menciptakan surplus keuntungan yang besar yang dapat digunakan untuk agenda
legitimasi kekuasaan rezim memalui pemberian kredit usaha kecil dan pertanian,
subsidi kebutuhan pokok kepada masyarakat yang dapat digunakan untuk meredam
keresahan sosial dan menjaga popularitas rezim. Seperti itulah salah satu agenda
awal yang dijalankan rezim Soeharto pada masa awal pemerintahannya. Sehingga
gejolak sosial diakar rumput dapat diminimalisir bahkan tidak ada.
Dari situ mulai
kelihatan bagaimana rezim Soeharto mulai melancarkan agenda ekonomi yang
berdampak pada kebijakan agraria yang menguntungkan investasi asing dan negara
untuk dinikmati para kroninya. Dan malapetaka pun terjadi di masyrakat desa
dengan tanah yang dimilikinya. Tanah-tanah yang seharusnya dimiliki oleh
masyarakat kecil diambil alih oleh negara dengan alasan kesejahteraan nasional. Bukan
itu saja, setelah gerakan lend refrom diberhentikan kebijakan
pertanahan pun menjadi ajang baru untuk mempercepat pembentukan pasar tanah
melalui reformasi dan manajemen pertanahan. Dalam reformasi pertanahan ini
dengan jelas menyebutkan ingin merevisi UUPA 1960 dalam agenda jangka
panjangnya. Agenda ini syarat dengan intervensi asing yang dilakukan oleh bank dunia dalam menetapkan kebijakan pertanahan ini.
Dari situlah
perubahan total mengenai agraria di Indonesia dimulai, sebenarnnya setelah
jatuhnya Soeharto gerakan lend refrom sudah mulai digalakkan lagi tetapi
hal ini hanya digunakan sebagai janji politik oleh hilir mudiknya presiden
Indonesia. Sehingga realisasinya masih kosong besar dominasi kapital yang sudah
mengakar kuat menjadi masalah tersendiri untuk reformasi agraria di Indonesia.
Salah satu gerakan penolakan pembangunan pabrik semen di Sukolilo Pati Jawa
Tengah merupakan salah satu contoh rill
gerakan rakyat yang berusaha untuk mengembalikan kedaulatan tanah atas hak
masyarakat untuk mengolah dan melestarikannya. Sehingga hingga saat ini terus
memperjuangkan sepetak tanah yang akan menjadi tumpuan hidup masyarakat disana.
Sebenarnya
seperti itulah gerakan rill yang dapat dilakukan masyarakat untuk mengupayakan
reformasi agraria, dengan menyatu dengan alam sehingga kesadaran akan pentingnya
kelestarian lingkungan akan muncul. Pada akhirnya menciptakan kesadaran kolektif untuk membentengi
tanah mereka dari kaum kapitalis yang
berafiliasi dengan negara karena nampaknya akan sulit gerakan untuk mereformasi
agraria kalau hanya mengandalkan sosok penguasa negara, tanpa adanya gerakan
kolektif yang diakomodir dari kekuatan rakyat
yang sadar akan kedaulatan tanah mereka.
Lantas apa yang
dapat dilakukan mahasiswa, tidak ada lain kecuali hanya ikut turun bersama
rakyat untuk menekan pemerintah untuk menyegerakan reformasi sistem agraria
yang ada. Sebab, hanya dari mahasiswa lah gerakan penyadaran secara ilmiah lebih mungkin dilakukan untuk
menggalang massa yang lebih dari cukup untuk mempersatukan kekuatan dalam
merobohkan dominasi sistem kapitalis.
Doel Rohim
Jemaat Arena dan keluarga KMPP (keluarga Mahasiswa Pelajar Pati)