ORDA TANAH PUSAKA : MENJAWAB ARTI SEBUAH “KERINDUAN” Seorang Margono - KMPP Yogyakarta

Selasa, Oktober 11, 2022

ORDA TANAH PUSAKA : MENJAWAB ARTI SEBUAH “KERINDUAN” Seorang Margono

 

Membahas persoalan organisasi etnis yang akrab dipanggil “orda”, bagaikan mempertemukan pangkal dan ujung kehidupan (kelahiran dan kematian). Bagian tengah dari awal dan akhir itu ada dinamika sebagai bumbu sebelum mencapai klimaks. Proses fluktuasi naik turun menjadi makanan sehari – hari dalam menghidupi orda. Sekilas mengajarkan tentang arti sebuah rumah, tempat pulang dan berteduh dari teriknya kehidupan. Organisasi ini lahir dari sebuah solidaritas yang didasarkan atas persamaan budaya, latar belakang, tempat tinggal untuk kemudian mencari kutub identitas di tengah peliknya kehidupan perantauan. Nilai kekeluargaan menjadi senjata utama dalam menarik orang – orang yang merindukan tempat kelahirannya. Rasa kesamaan cara berkomunikasi dan tujuan di rantau menjadikan organisasi ini selalu unggul dalam aspek solidaritas. Perbedaan pandangan dalam berorganisasi setiap individu menyebabkan keragaman. Kenyataan ini merupakan dua mata pisau yang dapat memberikan manfaat ketika digunakan dengan baik, sekaligus dapat melukai apabila tidak berhati – hati dalam menggunakannya.

Ragam pemahaman yang masuk di dalam tubuh orda membuat orientasinya selau berubah mengikuti laju perubahan ruang dan waktu. Keragaman tersebut membuat orda menjadi klise yang nantinya akan membingungkan. Situasi ini menuntut seseorang untuk mencari “kursi” untuk dirinya sendiri dan menempatkannya pada tempat yang tepat untuk memahami banyaknya pemikiran. Penanggulangan akan bahaya kebingungan dapat diatasi melalui beberapa filter yang diinisiasi oleh pengurus. Pada hakikatnya, kebingungan itu adalah esensi sebuah orda, bingung berarti berusaha mengerti, menerka jalan keluar untuk keluar dari permasalahan yang rumit.

Keragaman persepsi mengenai orda, sedikit banyak dipengaruhi oleh pemaham dari luar yang tidak selalu diiringi dengan pemahaman mendalam mengenai orda, akibatnya adalah persepsi “kiri” dalam memandang orda mendominasi otak. Tidak dapat dimungkiri bahwa esensi orda adalah sebagaimana yang disebutkan di awal, kekeluargaan dan solidaritas. Mungkin pemahaman menggiring beberapa pihak menganggap sebagai hal yang klasik dan penuh kemunafikan. Nyatanya hal tersebutlah yang memberangkatkan orda menjelma menjadi organisasi kompleks sekaligus rumit (bagi yang memahami). Orda selalu “dihantui” dengan unsur kebermanfaatan yang seolah – olah menjadi beban moral yang harus ditanggung oleh stakeholder-nya. Sisi lain dari beban tersebut sebenarnya adalah dalam rangka memperkuat pondasi dasar orda yang penuh nuansa kekeluargaan. Agaknya terlalu naif untuk menyampaikan visi kekeluargaan secara gamblang di era mencuatnya kapitalisme dimana segala aspek selalu diperhitungkan untung dan ruginya.

Dua beban berat orda ini semakin membuatnya menjadi serba rancu dan mepertinggi kadar ambiguitasnya. Ujung dari teka – teki ini adalah menyimpulkan bahwa orda adalah tanah pusaka, tempat untuk berpulang. Menuangkan segala kerinduan akan perasaan yang dulu pernah diungkapkan ketika pertama kali masuk orda. Entah itu senang, terpaksa, atau hanya ikut – ikutan. Semuanya akan kembali pada “markasnya” masing – masing. Berbicara soal rindu, dia adalah diksi yang memiliki mean paling tinggi dalam sebuah cerita roman. Dua tokoh utama selalu terbelenggu dalam kalimat rindu selalu mendapatkan ruang dalam jiwa – jiwa yang sibuk. Saat ini hanya kalimat bahwa “orda adalah romantis” yang dapat mewakili pemikiran “Insan Pena”. Di luar itu, persoalan kebermanfaatan atau pengembangan sebenarnya hanyalah bagian kecil dari proses yang akan kembali pada tanah pusaka gudang kerinduan. Rindu berarti harus disalurkan, supaya diri ini bebas merdeka dari segala belenggu. Rindu merdeka, berarti merindukan orda.

Jika anda merasa nikmat membaca tulisan ini, berarti anda sudah bisa sedikit mendapatkan esensi sebuah orda, jika anda bingung berarti anda peduli dengan orda, jika anda hanya bisa memahami sebagian dari keseluruhan paragraf, jangan dipaksakan. Butuh proses dan waktu untuk memahami. Butuh keikhlasan untuk berfikir sejenak, sebelum memahami orda lebih jauh. Kerinduan sulit untuk didefinisikan, hanya bisa dirasakan kemudian disampaikan.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda