Membahas persoalan organisasi etnis yang akrab
dipanggil “orda”, bagaikan mempertemukan pangkal dan ujung kehidupan (kelahiran
dan kematian). Bagian tengah dari awal dan akhir itu ada dinamika sebagai bumbu
sebelum mencapai klimaks. Proses fluktuasi naik turun menjadi makanan sehari –
hari dalam menghidupi orda. Sekilas mengajarkan tentang arti sebuah rumah,
tempat pulang dan berteduh dari teriknya kehidupan. Organisasi ini lahir dari
sebuah solidaritas yang didasarkan atas persamaan budaya, latar belakang,
tempat tinggal untuk kemudian mencari kutub identitas di tengah peliknya
kehidupan perantauan. Nilai kekeluargaan menjadi senjata utama dalam menarik
orang – orang yang merindukan tempat kelahirannya. Rasa kesamaan cara
berkomunikasi dan tujuan di rantau menjadikan organisasi ini selalu unggul
dalam aspek solidaritas. Perbedaan pandangan dalam berorganisasi setiap
individu menyebabkan keragaman. Kenyataan ini merupakan dua mata pisau yang
dapat memberikan manfaat ketika digunakan dengan baik, sekaligus dapat melukai
apabila tidak berhati – hati dalam menggunakannya.
Ragam pemahaman yang masuk di dalam tubuh orda membuat
orientasinya selau berubah mengikuti laju perubahan ruang dan waktu. Keragaman
tersebut membuat orda menjadi klise yang
nantinya akan membingungkan. Situasi ini menuntut seseorang untuk mencari
“kursi” untuk dirinya sendiri dan menempatkannya pada tempat yang tepat untuk
memahami banyaknya pemikiran. Penanggulangan akan bahaya kebingungan dapat
diatasi melalui beberapa filter yang diinisiasi oleh pengurus. Pada hakikatnya,
kebingungan itu adalah esensi sebuah orda, bingung berarti berusaha mengerti,
menerka jalan keluar untuk keluar dari permasalahan yang rumit.
Keragaman persepsi mengenai orda, sedikit banyak
dipengaruhi oleh pemaham dari luar yang tidak selalu diiringi dengan pemahaman
mendalam mengenai orda, akibatnya adalah persepsi “kiri” dalam memandang orda
mendominasi otak. Tidak dapat dimungkiri bahwa esensi orda adalah sebagaimana
yang disebutkan di awal, kekeluargaan dan solidaritas. Mungkin pemahaman
menggiring beberapa pihak menganggap sebagai hal yang klasik dan penuh
kemunafikan. Nyatanya hal tersebutlah yang memberangkatkan orda menjelma
menjadi organisasi kompleks sekaligus rumit (bagi yang memahami). Orda selalu
“dihantui” dengan unsur kebermanfaatan yang seolah – olah menjadi beban moral
yang harus ditanggung oleh stakeholder-nya.
Sisi lain dari beban tersebut sebenarnya adalah dalam rangka memperkuat pondasi
dasar orda yang penuh nuansa kekeluargaan. Agaknya terlalu naif untuk
menyampaikan visi kekeluargaan secara gamblang di era mencuatnya kapitalisme
dimana segala aspek selalu diperhitungkan untung dan ruginya.
Dua beban berat orda ini semakin membuatnya menjadi
serba rancu dan mepertinggi kadar ambiguitasnya. Ujung dari teka – teki ini
adalah menyimpulkan bahwa orda adalah tanah pusaka, tempat untuk berpulang.
Menuangkan segala kerinduan akan perasaan yang dulu pernah diungkapkan ketika
pertama kali masuk orda. Entah itu senang, terpaksa, atau hanya ikut – ikutan.
Semuanya akan kembali pada “markasnya” masing – masing. Berbicara soal rindu,
dia adalah diksi yang memiliki mean paling
tinggi dalam sebuah cerita roman. Dua tokoh utama selalu terbelenggu dalam
kalimat rindu selalu mendapatkan ruang dalam jiwa – jiwa yang sibuk. Saat ini
hanya kalimat bahwa “orda adalah romantis” yang dapat mewakili pemikiran “Insan
Pena”. Di luar itu, persoalan kebermanfaatan atau pengembangan sebenarnya
hanyalah bagian kecil dari proses yang akan kembali pada tanah pusaka gudang
kerinduan. Rindu berarti harus disalurkan, supaya diri ini bebas merdeka dari
segala belenggu. Rindu merdeka, berarti merindukan orda.
Jika anda merasa nikmat membaca tulisan ini, berarti
anda sudah bisa sedikit mendapatkan esensi sebuah orda, jika anda bingung
berarti anda peduli dengan orda, jika anda hanya bisa memahami sebagian dari
keseluruhan paragraf, jangan dipaksakan. Butuh proses dan waktu untuk memahami.
Butuh keikhlasan untuk berfikir sejenak, sebelum memahami orda lebih jauh.
Kerinduan sulit untuk didefinisikan, hanya bisa dirasakan kemudian disampaikan.