Perubahan merupakan output dari pertumbuhan dan perkembangan. Dalam era global semacam ini, tak pelak perubahan semakin mengekspansi seluruh sendi-sendi kehidupan, apalagi dengan perubahan dalam masyarakat sekarang yang terbilang sangat wajar, mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan.
Masyarakat tidak dapat lepas dari yang namanya perubahan, meski mereka tidak mengiginkannya sekalipun, tetapi perubahan akan tetap terjadi. Perubahan dalam aspek kehidupan misalnya, manusia tidak akan terus hidup kekal, penuaan akan terjadi dan menyebabkan perubahan wajah serta pemikiran. Begitupun dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang lebih tepatnya disebut perubahan sosial. Dari perubahan sosial yang terjadi, maka budaya sekitar pun ikut berubah, karena pada hakikatnya perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Budaya yang sudah tertanam kuat dalam konvensi masyarakat, lambat laun terkikis oleh arus globalisasi. Termasuk dalam hal ini eksistensi masyarakat adat dalam suatu daerah yang semakin terancam. Sehingga upaya eksistensi dalam tubuh masyarakat adat sangat perlu, ditengah besarnya pemberangusan dan penghancuran terhadap berbagai nilai dan pranata-pranata yang dimiliki.
Masyarakat Sukolilo dan Meronan
Negara Indonesia tak akan lepas dari semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang menunjukkan kemajemukannya. Keragaman ini bisa dilihat dalam realitas berbagai kelompok masyarakat diseluruh nusantara yang juga bermuara pada perbedaan adaptasi interaktif atau komunitas terhadap ekosistem lokalnya yang melahirkan kearifan lingkungan dan ‘mode of production’ yang berbeda satu sama lain. Namun keragaman tersebut kini disatukan sebagai bangsa Indonesia dan lalu dipilah-pilah kedalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur bahasa tertentu, maupun kelompok penganut ajaran agama yang berbeda satu sama lain.
Salah satu bagian dari keanekaragaman adalah konsepsi yang berlangsung dalam masyarakat di Desa Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Masyarakat yang hidup dilereng pegunungan kendeng ini, mempunyai perangai yang ramah sesuai dengan karakter orang Jawa pada umumnya. Sifat halus adalah ciri khas masyarakat Jawa. Kehidupan diyakini harus dijalani dengan tenang sehingga ketenangan batin tetap terjaga. Berbicara keras atau berperilaku ramai hanya akan menghabiskan energi (Handayani & Novianto, 2004:125).
Begitulah watak masyarakat di desa Sukolilo, yang tidak dapat dipisahkan dengan tradisi. Upacara tradisi Meron di Sukolilo diadakan pertama kali pada masa pemerintahan Kasultanan Mataram (awal abad 17). Desa Sukolilo berada di bawah kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Jaya Kusuma. Demang Sukolilo pada saat itu adalah Sura Kerto yang merupakan salah satu dari lima bersaudara. Kelima bersaudara itu antara lain: Sura Kadam, Sura Kerto, Sura Yuda, Sura Dimeja, dan Sura Nata. Karena kelimanya semuanya laki-laki, maka disebut Pandawa Lima yang merupakan keturunan dari kerajaan Mataram.
Tradisi Meron merupakan kegiatan mengarak gunungan menuju halaman Masjid Sukolilo. Sebelum tahun 1971, upacara diadakan di pasar Sukolilo. Acara ini dilaksanakan setiap Maulud Nabi Muhammad SAW. Gunungan dipersiapkan oleh perangkat desa yang telah disepakati dalam kepanitian. Gunungan tersebut terbuat dari bahan ketan yang dirangkai sesuai dengan ketentuan tradisi yang ada. Bahan ketan tersebut dibuat ampyang (rengginang), cucur, dan once (ampyang yang dibuat kecil-kecil kemudian dironce sebagai lambang bunga melati). Para tetangga dan kerabat dari segenap perangkat desa bekerjasama dalam membuat gunungan. Jumlah gunungan tidak boleh kurang dari 12. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila kurang dari 12 akan mendatangkan malapetaka.
Bentuk Eksistensi
Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan.
Meski masyarakat desa Sukolilo, tidak menolak perubahan tetapi mereka bisa menempatkan diri dan mempertahankan budaya mereka. Mereka tetap melakukan kontak dengan budaya lain, menganut sistem pendidikan formal yang maju, dan mempunyai sistem terbuka masyarakat (Open Stratification). Bagi sebagian masyarakat tidak dapat melakukan hal tersebut, tetapi berbeda dengan masyarakat sukolilo yang terbilang sukses mempertahankan diri dari arus global dengan tidak menghindarinya.
Bentuk eksistensi masyarakat adat yang berada di desa Sukolilo tepatnya di kabupaten Pati ini adalah melalui tradisi meron, yang merupakan salah satu upaya penolakan pemberangusan. Mereka mempunyai cara tersendiri untuk tetap eksis, meski zaman telah berubah. Salah satu cara yang digunakan melalui Tradisi yang tetap keukeuh dipertahankan dari zaman dulu hingga sekarang yakni Tradisi Meronan. Dan dalam realitanya sudah dapat dilihat bahwa sistem dan nilai-nilai yang selama ini hidup dan dipraktikkan masyarakat desa Sukolilo ternyata lebih bisa memberikan daya immun (tahan) bagi anggota masyarakat.
_Sandra Novita Sari, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Semarang