Surat Di Sudut Bibir - KMPP Yogyakarta

Selasa, April 05, 2016

Surat Di Sudut Bibir



 

SURAT DI SUDUT BIBIR
Oleh: Surini

Gelap menjubahi bibir tergetas
Bukan karena udara yang gigil
tuan,
Apa engkau mendengar ceritaku
Merintih dibalik gubuk
Dalam tarian makhluk kecil yang mencintai tubuhku
Begitu mesra mengakar
Memeluk setiap sayat daging
Meskipun tak dapat kugapai dengan mata telanjang

Temaram dalam kelabu menabuh nyanyian mata gerimis
Senandung syair jantung selalu menggema
Dalam suara terbata-bata
Aku hanya merengguk ampas
Yang membuatku terbatuk
Aku hanya mampu
Merangkak memungut detik demi detik
Menyusuri denting ayunan takdir
Dari bilangan usia yang tak dapat dirumuskan

Di setiap atap perempatan senja
Setiaku menunggu kehadiran penjeput pilu
Namun asa hanya berkeping jadi debu
Di ujung jalan tak berujung
Udarapun menyengir
Di tepi pintu nafasku
Ku hanya tulang rapuh tanpa koin
Terkapar di tanah gesang tak bertuan
Yogyakarta

DIRIKU BERGANTI NAMA
Oleh: Surini

Kulit mulusku kini bertailalat
Tubuh pun tak sedap berbau pengap
Sejuk jago merah menjilat kuat penuh santap
Lapuk, kulit kering mencuat tak berkarat

Lisan berlalu lalang di padang ilalang hilang
Jantung mengatup, mata membuta
Derita bertahta, tangis meringis
Paras rona rembulan petang kian pulang

Detik-detik mendebarkan diriku berganti nama
Negeri asap, telah bermuara di tikar cakrawala
Sirna sudah, lahir jari jemari menengadah
Para wayang berjalan tanpa arah bertubuh penuh panah

Yogyakarta


JAWABNYA
Oleh: Surini

Saya ini hanya polusi
Tenang,
bukan racun yang sekaligus mematikan
Lisanku belum usai
Tenanglah

Seperti yang terlihat
Buah kataku terpetik ranum, tak mampu berbohong
Terdidik apik
Oleh sahabat kecilku
Bola putih bernoda hitam itu

Tenanglah,
Kau kan temukan jalanmu diujung waktu nanti
Hingga setundung harap,
sebongkah pilu
tak akan pernah memelas,
merengek-rengek lagi 

Bukan jalanku yang akan kau lalui
Ini sakit,
ini licin sangat licin
Kau pasti akan terjatuh
Hingga asamu melepuh

Perlu kau tau
Lorong ini sangat kotor,
dunia pun enggan menoleh
Hanya waktu yang mampu menjadi sahabatku
Menimbun albumku dengan deburan debu  

Abstrak,
matapun kasad melihat
Hingga dunia buta
Bisu,
tak mengataku lagi

Yogyakarta


BERNOSTALGIA DI TAMAN SURGA
Oleh: Surini

Bunga cantik itu telah layu
Kriput, mengerut
Tiada kelu menderu
Cintanya terus menerus mengalun lembut

Bunda
Aku dengar lagi suaramu disini
Di tepi kota berbaju senja
Dimana darah menangis meringis

Rindu kian terbalaskan
Tiada lagi cercaaan
Hingga lahir cerita bulan bernostalgia di taman surga
Terajut bahagia paripurna di tengah istana

Pati 


*Surini, Penikmat sastra yang kebetulan lahir di Desa Kuningan, Juwana.

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda